Jumat, 08 Februari 2008

EDISI 2 -JANUARI 2008

DUNIA LADANG BERAMAL SHALIH
Sulaiman Al-Kumayi
SEORANG sahabat Nabi Saw., Ibnu Umar menuturkan bahwa suatu ketika Nabi memegang pundaknya dan bersabda:
Jadilah kamu di dunia seolah-olah asing atau orang yang melewati jalan; Ibnu Umar berkata, "Apabila kamu telah masuk di waktu sore (maka gunakanlah dengan baik) dan jangan menanti waktu pagi. Apabila kamu memasuki waktu pagi maka janganlah menanti waktu sore. Dan ambillah kesempatan di waktu sehatmu untuk bekal di waktu sakitmu dan dari hidupmu untuk matimu." (HR. Al-Bukhari).
Mengapa kita disuruh seolah gharîb (orang asing) atau `âbir sabîl (orang yang melewati jalan)? Apakah ini berarti kita tidak perlu bersibuk ria di dunia ini? Hanya mengkhususkan hari-hari kita dengan memutar biji tasbih di masjid dan melupakan kewajiban hidup sehari-hari, melupakan kewajiban terhadap istri dan pendidikan anak dan sebagainya? Tentu saja bukan itu yang dikehendaki oleh Nabi. Yang dikehendaki beliau adalah agar kita tidak dimabuk kepayang oleh hal-hal duniawi, yang seringkali menyeret orang melupakan akhirat. Padahal, kehidupan yang sejati itu adalah kehidupan di akhirat. Kehidupan yang digambarkan oleh Allah sendiri sebagai "lebih baik dan lebih kekal" (QS. Al-A`la [87]: 17); juga "lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya" (QS. Al-Isra’ [17]: 21). Karena itu,—sebagai wujud kasih sayang-Nya kepada umat Muslim—Allah pun menegaskan lagi: "Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit." (QS. At-Taubah [9]: 38)
Nah, jika tidak juga peduli dengan seruan ini, Allah akan bertanya: "Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?" (QS. Al-Taubah [9]: 38). Maksudnya, "Apakah kamu merelakan hidup di dunia dan kelezatannya yang pasti lenyap sebagai ganti dari kebahagiaan akhirat yang sempurna lagi abadi? Jika kamu berlaku demikian, berartilah kamu menukar yang baik dengan yang buruk." (Hasbi, Tafsir An-Nuur, II: 1607).
Tentu saja, ini tidak berarti kita menafikan sedemikian rupa kehidupan dunia ini dan berasyik masyuk dengan kehidupan akhirat. Yang benar adalah keseimbangan. Kita sibuk dengan urusan duniawi semata-mata untuk kepentingan akhirat kita. Allah berfirman: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash [28]: 77)
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, firman Allah dalam QS. Al-Qashash [28]: 77 ini menegaskan bahwa kita tidak boleh menjauhkan diri dari kesenangan dunia, baik yang mengenai makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, karena kita mempunyai beberapa kewajiban terhadap diri sendiri dan terhadap keluarga kita. Dengan kata lain, firman Allah ini merupakan jalan tengah bagi kita dalam menempuh hidup di dunia ini. Kita beramal untuk dunia seakan-akan kita akan hidup sepanjang abad dan beramal untuk akhirat seakan-akan kita akan mati besok. Agama tidak menghendaki kita menghindari segala kelezatan dunia dan hidup atas bantuan orang lain. Tetapi agama menghendaki supaya kita bekerja dan berdaya upaya untuk memperoleh harta dengan jalan yang halal. Apabila kita telah memperoleh harta, maka hendaklah kita tunaikan hak Allah dan janganlah kita melupakan bagian kita sendiri di dunia ini. (Tafsir An-Nuur, IV: 3001).
Kita memanfaatkan umur kita untuk mengumpulkan bekal perjalanan panjang: akhirat. Meminjam kata-kata Dr. Mahmud bin Al-Syarif: "Seorang mukmin sejati akan bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bekerja demi kebahagiaan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Dia menanam amal kebaikan semasa hidupnya agar kelak pasca kematiannya dia dapat menuai hasil jerih payahnya. Dia hidup tenteram dan damai sebab tidak dihantui oleh rasa takut akan kematian, bahkan dia siap menantikan datangnya kematian kapan pun dan di mana pun."
Teladan sejati kita, Nabi Muhammad Saw. menghabiskan sepanjang hayatnya untuk kita, para pengikutnya. Beliau tidak mau menyibukkan diri dengan kasur empuk untuk tidur. Coba lihat, apa komentar beliau ketika ada sahabatnya yang menawarkan tikar yang lebih baik untuk tidur.
Dalam suatu riwayat disebutkan Rasulullah Saw. tidur di atas tikar, lalu bangun, dan sungguh lambungnya berbekas (dengan gambar tikar itu). Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana apabila kami buatkan tikar untukmu?" Rasul menjawab, "Untuk apa aku mempedulikan dunia. Aku di dunia hanyalah seperti pengendara unta yang sedang bernaung di bawah pohon kemudian berangkat meninggalkannya." (HR. At-Tirmidzi).
Nabi lebih menyibukkan dirinya mementingkan nasib umat manusia daripada tidur di kasur empuk. Bahkan, beliau sebenarnya tidak pernah tidur dalam pengertian kita, karena sibuk memikirkan keselamatan kita tidak saja di dunia ini tetapi juga di akhirat nanti. Untuk alasan inilah, ketika malaikat Jibril menawarkan kepadanya untuk menghancurkan orang-orang yang memusuhinya, beliau menolak tegas tawaran itu. Bagi beliau, sebesar apa pun permusuhan dan kebencian yang diperlihatkan oleh musuh-musuhnya tidak akan membangkitkan amarahnya. Malahan, beliau balas permusuhan itu dengan persahabatan. Kebencian dengan kasih sayang. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip hidup kita di dunia ini.
Semoga bermanfaat.[]

DIALOG
APAKAH HAKIKAT AMAL SHALIH?

Tanya:

Banyak di antara umat Islam yang secara lahiriah disebut orang shalih. Namun keshalihannya itu tidak memberi kontribusi positif bagi ling­kungannya. Banyak umat Islam yang mampu berhaji berkali-kali, namun ironisnya apabila masih banyak orang miskin di sekitarnya. Apakah hakikat amal shalih itu? (Abu Viena, Lhokseumawe)

Jawab:
Dalam ayat 177 Al-Baqarah disebutkan: “Bukanlah suatu kebaktian, hanya kamu menghadapkan muka ke arah kiblat baik dari arah Timur maupun Barat. Namun kebaktian itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan para Nabi. Dan memberikan harta yang dikasihinya kepada orang-orang yang mempunyai ikatan keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan peminta-minta dan untuk memerdekakan budak sahaya; dan dia mendirikan shalat, memberikan zakat dan orang-orang yang menepati janji apabila berjanji dan orang-orang yang sabar apabila dalam masa-masa kesukaran dan terjadi kemudaratan dan ketika perang. Mereka adalah orang-orang yang benar—imannya—dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa (memelihara diri dari kekafiran dan kekejian).”
Ayat ini memberikan pengertian bahwa apa-apa yang disebut dalam ayat ini merupakan syarat bagi sempurnanya kebaktian atau keshalihan dan dengan melaksanakan yang demikian orang disebut berbakti. Apabila salah satunya kurang, maka dia tidaklah dapat dipandang sebagai orang yang berbakti atau beramal shalih. (Hasbi, Tafsir Al-Bayan, Pustaka Rizki Putra, hlm. 68)
Islam tidak hanya menghendaki seseorang menjadi hamba yang shalih secara vertikal dalam hubungannya dengan Sang Khaliq, namun juga shalih secara horisontal. Atau shalih secara vertikal dan shalih secara sosial.
Rasulullah pernah bersabda bahwa menolong saudara sesama muslim yang membutuhkan lebih baik atau lebih utama daripada sekedar duduk beriktikaf di masjid. Sabda Nabi tersebut adalah: “Berjalan bersama saudaraku untuk suatu keperluan lebih aku senangi dari pada beriktikaf di masjid ini—masjid Madinah—selama satu bulan.” (HR. Ath-Thayalisi)
Alangkah lebih baik apabila ongkos haji “yang sudah tidak wajib lagi bagi orang yang pernah berhaji” itu digunakan untuk program pengentasan kemiskinan dengan memberikan sumbangan bersyarat yang bersifat produktif, seperti untuk modal usaha. Maksudnya sumbangan yang diterima harus benar-benar digunakan untuk modal usaha, dan si pemberi sumbangan berhak meminta laporan perkembangan usahanya, meski tidak berniat meminta kembali sumbangan modalnya. Jadi bukan sekedar sumbangan sembako yang habis sesaat. Ibaratnya, memberikan kail lebih baik daripada memberikan ikan. Dengan memberikan ikan, habis dimakan, selesai sudah. Dengan memberikan kail, orang yang diberi kail dapat senantiasa mengail ikan, sehingga dapat mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhannya.
Dengan demikian keshalihan umat Islam dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, sebagai keshalihan yang sebenarnya. [hilya_ar]

HIKMAH
“Berkerjalah—dengan giat—untuk urusan duniamu seakan-akan kamu hidup untuk selamanya, dan beramalah—dengan giat—untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari.” (Al-Hadits)