Sabtu, 26 Januari 2008

EDISI 1 - JANUARI 2008

KILAS BALIK SEJARAH & PERJUANGAN TGK. MUHAMMAD HASBI ASH-SHIDDIEQY

PADA tanggal 09 November 2007, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono telah menganugerahkan Bintang Maha Putra Utama kepada Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, yang selama hayatnya lebih lama berkarya di luar tanah kelahirannya. Catatan perjalanan hidup Almarhum di Aceh tidaklah berjalan mulus, banyak benar perlakuan yang diterimanya, yang mengindikasikan bahwa pemikirannya yang dikemukakan kepada masyarakat pada saat itu, telah melampaui daya nalar masyarakat.

Pengalaman hidup Almarhum di Aceh dimulai pada tahun 1925 dengan usahanya membuka Madrasah Al-Irsyad di kota Lhokseumawe, meniru model sekolah modern. Usahanya ini dituduh meniru model sekolah kafir, karena mencoba mengajar kepada murid-muridnya dengan duduk berbanjar di atas bangku dan menggunakan papan tulis tidak duduk melingkar di atas tikar. Alasan pengkafiran ini karena adalah satu pelanggaran, jika ada murid duduk di depan dan ada yang duduk di bangku belakang, sehingga saat giliran membaca Al-Qur’an bagi murid yang duduk di belakang ada yang membelakanginya. Sehingga Sekolah Al-Irsyad terpaksa ditutup karena tak ada murid yang mau mendaftar.

Kemudian Hasbi mencoba mendirikan Madrasah Al-Huda di Krueng Mane, yang terpaksa gulung tikar terkena Ordonansi Guru 1906 yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial Belanda.

Karena kegiatannya di Muhammadiyah, Hasbi dianggap orang yang tidak dikehendaki. Hasbi ditangkap pada Maret 1946 di Kantornya, Mahkamah Syariah di Kutaraja, dan masuk ke dalam target untuk dieksekusi bersama beberapa Uleebalang. Hasbi diangkut dengan kereta api dari Stasiun Kereta Api Kutaraja, menuju Sigli untuk kemudian dibawa ke Tangse. Sewaktu berada dalam gerbong kereta api Hasbi tak sanggup menoleh kearah keluarga, wajahnya sendu karena sudah tahu bakal nasib yang akan dialaminya.

Teungku Daud Tangse menolak melaksanakan eksekusi, karena Aceh akan kehilangan seorang ulama dan apabila Aceh tak lagi punya ulama yang pandai bagaimana nasib Aceh di kemudian hari. Hasbi dimasukkan ke dalam kamp tawanan di Lembah Burni Telong (Aceh Tengah). Jika di Rusia ada kamp di Siberia untuk menempatkan para lawan politik, maka Kamp Burni Telong adalah padanannya.

Kamp ini yang merupakan barak bagi para penderes getah, adalah bangunan tua, tak ada fasilitas apapun. Para tawanan tidur beralaskan tikar di atas papan, makanan berupa ransum dengan lauk ikan asin, dan jika ada pembagian telur asin, maka jatahnya adalah dalam seminggu sekali.

Pernah kami sekeluarga diizinkan menjenguk, dan apa yang terlihat sungguh sangat menyedihkan. Sampai kemudian Hasbi dimasukkan ke rumah sakit di Takengon, karena terserang penyakit paru-paru (1947). Sampai dibebaskan pada tahun 1948, tak ada proses peradilan dilaluinya. Hasbi tak pernah diinterogasi, tak pernah dibawa ke muka Pengadilan untuk diadili dan bebas karena ada desakan dari Pimpinan Muhammadiyah di Yogyakarta dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Selama menjalani masa tahanan di Burni Telong, dengan bermodalkan kitab Suci Al-Qur’an, Hasbi menyiapkan naskah Pedoman Shalat dan Pedoman Dzikir dan Do’a.

Dalam tahun 1951, sebelum berangkat ke Yogyakarta, Hasbi ditunjuk Pemerintah Pusat untuk menjadi salah seorang dari lima orang anggota Missi Haji Pertama ke tanah suci Mekkah, untuk merintis kerjasama dalam pelaksanaan ibadah haji. Missi ini diketuai oleh K.H.R. Adnan Ketua Mahkamah Syariah Islam Tinggi di Surakarta. Penunjukan yang sudah sempat diberitahukan kepada anggota keluarga, pada saat-saat akhir menjelang keberangkatan, namanya dicoret oleh Pemerintah Aceh dan digantikan oleh orang yang dekat dengan Penguasa saat itu.

Hasbi dan keluarga mendapat berkah sewaktu mendapat undangan dari Panitia Kongres Muslimin Indonesia (KMI) ke XV di Yogyakarta yang diselenggarakan pada tahun 1949. Di Yogyakarta dia diperkenalkan oleh H. Abu Bakar Aceh kepada Menteri Agama saat itu K. H Wahid Hasyim. Serta kepada K.H. Fathurrakhman Kafrawi yang menjadi Ketua Panitia Pendirian Sekolah Persiapan PTAIN.

Karena tawaran yang menantang ini serta perlakuan-perlakuan yang diterima di Aceh, dengan senang hati Hasbi pindah ke Yogyakarta. Hasbi diangkat menjadi dosen, padahal dia sama sekali tidak punya gelar ilmiah dari sebuah Perguruan Tinggi atau tamatan Perguruan Tinggi di Timur Tengah.

Di Yogya-lah Hasbi bisa mengembangkan diri. Dia menulis buku-buku yang sekarang menjadi buku unggulan. Tafsir An Nuur, Tafsir Al-Bayan, Koleksi Hadits-Hadits Hukum serta Mutiara Hadits disiapkan di Yogya di waktu luang sehabis mengajar. Dengan gaji yang kecil, Hasbi terpaksa mengajar di beberapa sekolah di samping di PTAIN (yang kemudian pada tahun 1960 berubah menjadi Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga).

Atas undangan Gubernur Aceh saat itu Prof. Ali Hasymi, pada tahun 1962, Hasbi diminta untuk membuka Fakultas Syariah di Darussalam Banda Aceh, yang merupakan embrio Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry. Hasbi hanya bisa bertahan 1 tahun tinggal di Darussalam, walaupun diberi rumah, mobil, dan tanah seluas 600 m2 di daerah Lingke (sekarang sudah dijadikan Asrama Haji karena Hasbi tak sempat mengurus balik nama tanah tersebut ke kantor Agraria). Hasbi kemudian kembali ke Yogyakarta. Salah satu sebabnya adalah pemikiran pembaruan yang dikemukakannya yang dianggap terlalu maju masih tidak bisa diterima oleh sebagian masyarakat yang berada di sekitar masjid Lamnyong, Darussalam, Banda Aceh. Dalam sebuah diskusi Hasbi mengatakan bahwa agama Islam harus dipelajari berdasarkan Science (Ilmu Pengetahuan). Oleh sebagian “teungku” yang tak terbiasa mendengar kata “science” dikatakan bahwa Hasbi ingin membangun Islam meniru model “sayyid” (para tuan-tuan atau orang Barat).

Almarhum mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dalam buku Biografi-nya, “Namaku Ibrahim Hasan”, mengatakan bahwa, jika dia tak disukai di Aceh adalah hal yang kecil, sebab Hasbi seorang ulama besar juga kurang disukai di tanah kelahirannya sendiri dan terpaksa hijrah keluar Aceh.

Dalam Simposium 100 Tahun Hasbi yang diselenggarakan oleh IAIN Ar-Raniry dan Dinas Kebudayaan Provinsi NAD, September 2003, yang dibahas oleh para Teungku bukan substansi pemikiran berdasarkan makalah yang dipresentasikan oleh beberapa Guru besar baik dari IAIN Bandung, Yogyakarta ataupun Medan, namun lebih terfokus mengenai kepindahan Hasbi ke Jawa, apa benar dia ada garis keturunan dengan Abu Bakar Ash-Shiddieq sehingga menambah gelar “Ash-Shiddieqy” di belakang namanya. Terlepas apakah dia pakai gelar Ash-Shiddieqy di belakang namanya, namun satu hal sebetulnya yang penting dibahas apa kontribusi Hasbi dalam pengembangan Ilmu Fiqh, peranan dalam memajukan pendidikan.

Kepakaran Hasbi cukup diakui oleh dunia Internasional. Bangsa ini boleh bangga, bahwa seorang tamatan dayah (pesantren), dan belum berpredikat Profesor (1957, dia diangkat sebagai Guru Besar IAIN pada tahun 1960). Universitas Punjab, Lahore, mengundang Hasbi untuk mempresentasikan makalah dengan judul: “The Attitude of Islam toward Knowledge”. Hasbi yang tak menguasai bahasa Inggris, namun makalah yang dibawanya dalam Bahasa Arab cukup fasih dan mendapat pujian dari pakar-pakar Islam yang hadir dalam Colloquium tersebut.

Pada bulan Desember 1975, Hasbi beserta istri mendapat undangan Pemerintah untuk dapat menunaikan ibadah haji. Namun undangan tersebut tak sempat dipenuhi, karena beberapa hari menjelang keberangkatan pada tanggal 9 Desember 1975 Hasbi berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Islam Jakarta.

Ada beberapa sikap Hasbi yang tercermin dalam perilaku keilmuannya:

a. Perjuangan memperkenalkan kebenaran kepada masyarakat harus dilakukan dengan sepenuh hati dan kegigihan yang luar biasa dan tidak takut terhadap segala rintangan karena niatnya semata-mata karena Allah swt.

b. Membuka diri terhadap perubahan serta mencari ilmu dan informasi dari berbagai sumber adalah satu keharusan untuk mendapatkan hakikat kebenaran.

c. Kita harus mendengar, menghargai, menggali secara mendalam pendapat para ulama terlebih dahulu sebelum mengungkapkan pendapat kita.

d. Kemauan menuntut ilmu dan kegigihan mendalami ilmu agama tidak terbatas pada bangku sekolah dan pendidikan formal.

Hasbi mengalami nasib yang sungguh berbeda setelah hijrah dari Aceh. Dari seorang yang tak berijazah S1, dan seorang yang berlajar huruf Latin secara sembunyi-sembunyi, nama Hasbi kini dikenal luas sampai ke mancanegara.

Menteri Agama R.I, H. Muhammad Maftuh Basuni, sangat menghargai apa yang dikerjakan Hasbi dan kontribusinya kepada dunia ilmu pengetahuan, sehingga lewat Departemen Agama R.I, Hasbi diusulkan untuk mendapat Gelar Bintang Maha Putra Utama, dan usul ini kemudian berwujud.

Ada beberapa thesis Doktor yang ditulis mengenai Hasbi, baik di Mc Gill University di Montreal, Canada, Universitas Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur, Universitas Al-Azhar, Cairo.

Kesan yang muncul sekarang, adalah penilaian terhadap Hasbi semata-mata karena sikap tidak senang dan tidak mau tahu. Tanpa mempelajari buku Hasbi, hanya berdasarkan “kata orang” muncul berbagai penilaian terhadap Hasbi, yang kadangkala mendekati fitnah, seperti Hasbi tidak pernah shalat Jum’at di masjid, dan selama 15 tahun di Yogyakarta, dia menganggap dirinya seorang musafir yang boleh mengqasharkan shalat lima waktu. Kedua hal yang terakhir sama sekali tidak benar.

Ada cerita lucu, bahwa pada suatu ketika ada orang menyodorkan sebuah buku tanpa kulit muka. Setelah buku itu dibaca, sambil mengangguk-angguk dia memuji tulisan pengarangnya dia memuji pendapat yang tertera dalam buku itu. Namun dia agak malu, ketika kulit buku dipasangkan kembali dan ternyata buku tersebut adalah karya Hasbi.

Penulisan mengenai perjalanan hidup Hasbi ini dimaksukan agar kita di Aceh bisa terbuka mata, bisa menghargai orang yang mengabdikan dirinya kepada dunia pengetahuan tanpa pamrih.

Apabila kita rajin membaca buku Hasbi, bisa dibaca bahwa dia tak pernah menyerang pribadi orang yang tidak sependapat, tidak pernah mengeluarkan kata-kata hujatan bahwa pendapat lawannya itu sesat menyesatkan. Kata-kata “sesat menyesatkan” sering dialamatkan kepadanya. Dan reaksi beliau adalah mengemukakan dalil baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah, mengapa dia berpendapat demikian.

Kalau kita ingin maju, baca buku yang banyak perbandingkan isinya, pilih mana yang benar menurut pendapat kita. Kalau kita tak mau membaca, menggantungkan pendapat kepada apa yang “kata orang”, kita akan dilanda badai reformasi pemikiran baru dan kita akan “ketinggalan kereta”. Jangan karena ingin meniru Nabi kita enggan berwudhu lewat keran air, dan tetap berwudhu dari air kolam.

Wabillahit taufiq wal hidayah.

H.Z. Fuad Hasbi *)

*) Penulis adalah putra Alamrhum dan kini menjabat Direktur Pusat Studi Islam dan Perpustakaan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy di Lhokseumawe.

DIALOG
BOLEHKAH LELAKI MUSLIM MEMAKAI PERHIASAN YANG TERBUAT DARI EMAS?

Tanya:

Dalam tayangan media beberapa waktu yang lalu, pernah dibahas masalah perhiasan emas bagi kaum laki-laki. Bolehkah laki-laki memakai perhiasan emas? (Sauqy bin Halim, Lhokseumawe)

Jawab:

Banyak hadits yang menunjukkan ke­haraman laki-laki memakai perhiasan emas, di antaranya riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Emas dan sutra dihalalkan bagi umatku yang perempuan dan diharamkan bagi umatku lelaki.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)

Menurut Hasbi, meskipun banyak hadits yang menyatakan demikian dari berbagai jalan (jalur periwayatan), namun semuanya itu tidak lepas dari kecacatan. Dengan merujuk keterangan sejarah yang lebih shahih, Hasbi menjelaskan bahwa sejumlah shabat, seperti Sa’ad ibn Abi Waqqash, Thahlah ibn Ubaidillah, Shuhaib, Huzaifah, dll., memakai cincin emas, karena me­mahami lararangan yang dikehendaki Nabi Saw. hanyalah larangan makruh.

Kesimpulan makruh ini, lebih lanjut dijelaskan oleh Hasbi:

Apabila kita perhatikan umum ayat-ayat Al-Qur’an, maka jelaslah menegaskan bahwa memakai emas dan perak halal hukumnya [baca QS. Al-A’raf: 31-33]. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa segala macam hiasan adalah halal. Di antara hiasan itu adalah emas dan perak.

Menurut kaidah ushul fiqh, tiap-tiap dalil yang bersifat umum tetaplah dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mentakhshishkan atau mengkhususkan­nya. Dalil yang dapat mentakhshishkan ayat Al-Qur’an harus sama derajatnya. Hadits-hadits yang mentakhshishkan keumuman ayat ini, yakni hadits yang melarang kita memakai emas, semuanya hadits ahad (hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang), bukan mutawatir. Karena itu tidak dapat dipakai untuk mengecualikan emas dari keumuman ayat yang memperbolehkan kita memakai perhiasan (ziinah).

Wallahu a’lam.

Keterangan selengkapnya dapat Anda baca dalam Koleksi Hadits-hadits Hukum, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 256. [h_ar]

HIKMAH

“Semua perkataan anak Adam tidak berguna baginya, kecuali untuk mengajak melakukan yang ma’ruf dan melarang perbuatan mungkar serta berdzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

EDISI 9 - DESEMBER 2007

TAWAKAL MAMPU MENGUBAH SESUATU YANG MUSTAHIL

Oleh: Sulaiman Al-Kumayi (Kandidat Doktor Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang)

DALAM kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan dengan berbagai macam kesulitan yang seringkali sulit dipahami oleh nalar manusia. Menghadapi kondisi ini, ada yang dengan menyadari bahwa ada faktor di luar nalar manusia yang berperan besar dalam persoalan tersebut, sehingga mereka bisa berpikir jernih. Yang lainnya, malah apatis dan putus asa. Mereka menganggap dunia ini sudah sangat gelap dan tidak lagi berpihak kepada mereka. Lalu mereka berusaha mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri yang mereka anggap sebagai jalan penyelesaian terbaik.

Menurut ajaran Islam, sesulit apa pun persoalan hidup, tetap ada jalan keluarnya. Kalau pun seseorang sudah mengerahkan seluruh pikiran dan tenaga untuk keluar dari persoalan, namun tetap saja buntu, maka, Islam menganjurkan umatnya untuk menyerahkannya kepada Allah. Ini yang disebut dengan tawakkullah (bertawakal kepada Allah). Pertanyaannya, kapan tawakal itu benar-benar dijalankan? Karena sebagian umat Islam kurang tepat dalam memahami tawakal. Mereka belum mengerahkan seluruh potensinya, namun buru-buru bertawakal dan bersikap pasif.

Hasbi Ash-Shiddieqy dalam berbagai bukunya telah menjelaskan tentang tawakal yang benar. Tawakal ialah menyerahkan diri kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Dalam pengertian syara’ tawakal terbagi dua: [1] menyerahkan diri kepada Allah dalam hal pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai sebab dan ‘illat; dan [2] menyerahkan diri kepada Allah dalam hal pekerjaan-pekerjaan yang tidak mempunyai sebab dan ‘illat. Dari sini dapat dikemukakan lebih jauh bahwa yang disebut tawakal itu adalah menyerahkan diri mengenai pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai sebab dengan mengusahakan berhasil sebab-sebab itu dan mewujudkan ‘illat-‘illat-nya. Sesudah itu, barulah menyerahkan diri kepada Allah pada sebab yang tidak nyata atau pada kemungkinan datangnya halangan-halangan. Barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan memeliharanya. Nabi bersabda, "Sekiranya kamu benar-benar bertawakal kepada Allah, tentulah Dia merezekikan kamu, sebagaimana Dia merezekikan burung, ia pergi dengan lapar, ia pulang dengan kenyang." (HR. Ibnu Hibban)

Dengan demikian, tawakal itu dilakukan setelah suatu pekerjaan dilakukan secara maksimal. Allah berfirman, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada setiap urusan, apabila engkau telah berketetapan hati, maka menyerah dirilah engkau kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 159)

Allah meletakkan tawakal sesudah bermusyawarah. Sesudah kita berembuk dengan keras dalam memecahkan sesuatu masalah dan telah mendapat kata sepakat untuk melaksanakannya, barulah kita bertawakal. Jadi, bertawakal kepada Allah dilakukan sesudah menyiapkan sebab-sebab untuk mencapai niat yang dituju. Adapun tawakal tanpa dasar seperti ini adalah suatu kebodohan.

Dalam kondisi yang sangat darurat dan berada di luar kesanggupan manusia untuk memecahkan atau menghindarinya, seperti seorang penumpang pe­sawat udara, yang dihempas badai dan tidak ada lagi jalan untuk menyelamatkan diri dan hilang harapan bagi keselamatannya, maka wajiblah ia bertawakal kepada Allah. Karena Allah-lah yang sanggup mengubah keadaan atau menghentikan angin topan yang berbahaya itu.

Mungkin ada orang yang berkata, "Apa artinya tawakal di masa yang sangat kritis?" Menurut Hasbi, ini adalah perkataan yang salah. Harus disadari bahwa Allah sanggup berbuat segala sesuatu. Banyak kita saksikan orang-orang yang mendapat keselamatan setelah ia berputus asa. Bahkan, orang-orang yang telah menghadapi maut, bisa hidup kembali dan terus mengecap kelezatan hidup dengan lebih sempurna dan lengkap dari sebelumnya.

Kasus Kapten Pilot Abdul Rozak adalah contoh nyata pentingnya tawakal setelah segala usaha dilakukan. Pada tanggal 16 Januari 2002, ia bertugas menerbangkan pesawat Boeing 737-300 dengan rute Bandara Selaparang, Lombok menuju Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Cuaca saat itu normal, dan pesawat telah mencapai ketinggian 31.000 kaki. Di atas kota Blora, pesawat tiba-tiba masuk ke dalam sejenis awan tebal yang berbahaya, saat itu tidak ada altematif lain kecuali menembus awan tersebut.

Tiba-tiba kedua mesin pesawat mati pada ketinggian 23.000 kaki. Sesuai dengan prosedur, maka ia segera menghidupkan generator untuk meng­hidupkan kembali mesin yang mati itu. Namun yang terjadi justru electricity power rusak. Artinya, kedua mesin yang berjumlah dua buah itu dalam keadaan mati. Kapten itu segera melakukan wind mailing, yaitu mencoba memutar kembali propeller mesin dengan dorongan udara, kira-kira seperti mendorong mobil mogok, yaitu dengan meluncurkan pesawat ke bawah. Namun itu pun tidak membawa hasil. Electrical power mati, keadaan dalam pesawat menjadi gelap. Sementara pesawat terus turun dari 23.000 kaki hingga ke 8.000 kaki. Saat itu terbayang di benaknya nasib para penumpang yang berada di belakang cockpit, yang tidak mengetahui apa yang terjadi secara pasti. Ia mulai panik. Semua prosedur penerbangan sudah dijalankannya, tetapi tidak membantunya sama sekali. Pada saat itulah ia pasrah. Ia mengirim pesan, Mayday... mayday!” berulang kali, namun tidak ada jawaban, akhirnya ia pasrah. Ia hanya berdoa memohon bantuan Tuhan dan menyerahkan sepenuhnya, nasib dirinya dan para awak pesawat serta penumpangnya kepada Allah. Kapten Rozak berteriak, “Allahu-Akbar!” tiga kali.

Pesawat tiba-tiba keluar dari awan, hingga ia bisa melihat jelas semua yang terhampar di hadapannya. Kini ia harus mendaratkan pesawat itu dengan mesin dalam keadaan mati, dengan membawa puluhan penumpang tidak berdaya. Terlihat dengan jelas di hadapannya sebuah persawahan dan se­buah sungai. Ia harus membuat keputusan dengan cepat dan tepat. "Men­darat di sawah yang terlihat rata atau mendarat di sungai Bengawan Solo dengan sebuah jembatan melintang di depannya?" Apabila salah mengambil keputusan maka akan berakibat fatal, yaitu kematian dirinya dan ke­mungkinan seluruh penumpang.

Sang Kapten segera berdiskusi dengan co-pilot, dan akhirnya diambil keputusan dramatis. Pesawat akan mendarat darurat dengan menjadikan sungai Bengawan Solo yang cukup dalam itu sebagai run way (landasan pacu). Akhirnya pesawat turun dan mendekati "landasan pacu" dan siap untuk landing di atas Bengawan Solo! Ternyata, saat mendekati "landasan pacu", menghadang sebuah jembatan besi. Rozak terpaksa berputar kembali agar dapat mendarat dengan melewati jembatan besi itu. Dengan mesin mati, atau tanpa tenaga pendorong, pesawat itu meluncur dan subhanallah berhasil.

Dan pesawat landing. Namun tak jauh di depannya menghadang lagi jembatan besi beton kedua, yang siap melumat pesawat apabila menabraknya. Namun tidak disangka, tiba-tiba pesawat itu menabrak batu hingga bagian belakangnya sobek, dan pada saat itulah salah seorang pramugari meninggal, karena tersedot keluar. Pesawat mendadak berbelok ke kanan ke tempat yang lebih dangkal. Bayangkan kalau pesawat itu meluncur terus dan tidak berbelok ke kanan, tidak mustahil pesawat itu akan menabrak jembatan dan tenggelam di tengah Bengawan Solo.

Pesawat akhirnya berhenti dengan selamat di sisi kanan sungai pada tempat yang dangkal, padahal di sekitarnya kedalaman ± 10 meter. Seluruh penumpang bisa keluar dari pintu pesawat. Kabin pesawat yang bertekanan udara demikian kuat itu, justru dengan cepat dapat dibuka karena lubang yang tercipta akibat tabrakan batu besar tadi. Seluruh penumpang dapat diselamatkan, walau seorang pramugari tak terselamatkan. Di tempat itu ada sebuah rumah kosong dan sebuah mobil, sehingga para penumpang bisa segera dievakuasi, subhanallah!

Jadi, tawakal diharuskan di saat keadaan di luar kemampuan manusia untuk mengubahnya dan tidak diharuskan selagi ada kemungkinan dan kemampuan mengubahnya. Orang yang pasrah dan tidak berusaha, hanya semata-mata mengaku bertawakal kepada Allah, adalah pendusta. Di sini sangat jelas, bahwa tawakal tidak melahirkan sifat pesimis. Ia menggerakkan kemauan dan semangat untuk berupaya. Mungkin ada yang berkata: "Kalau bertawakal sesudah berikhtiar, maka tidak ada lagi arti dan faedah yang diharapkan dari tawakal itu." Menurut Hasbi, pandangan seperti ini keliru besar. Tawakal itu berguna untuk menolak yang menjadi halangan yang tidak dapat dilihat (ihtiyath) atau memelihara diri dari dipengaruhi perasaan, bahwa kita telah banyak berusaha daripada tawakal. []

Buku rujukan:

Prof. Dr. Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, Jil. I (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001).

Prof. Dr. Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir An-Nuur, Jil. II (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995).

Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey melalui Al-Ihsan (Jakarta: Arga, 2003).

DIALOG

BERQURBAN SEEKOR KAMBING UNTUK BERAPA ORANG?

Tanya:

Selama ini pendapat yang umum di masyarakat, dalam berqurban, seeokor kambing berlaku untuk satu orang. Seekor lembu/sapi untuk tujuh orang. Bagaimanakah yang benar menurut syariat Islam? (Umar Hasyim, Lhokseumawe)

Jawab:

Kadar (atau ukuran/jumlah) hewan qurban untuk sebuah rumah tangga cukup seekor kambing (biri-biri), yang disembelih oleh kepala keluarga untuk dirinya serta untuk seisi rumahnya.

Marilah kita perhatikan pendapat para ulama tentang kadar qurban ini.

Menurut sebagian ulama dari golongan Asy-Syafi’y, seekor kambing adalah untuk satu orang saja. Al-Hadi, Al-Qasim dan golongan Zaidiah, mengatakan bahwa seekor kambing berlaku untuk tiga orang. Menurut Ishaq ibn Rahawaih dan Ibnu Al-Khuzaimah dari golongan Asy-Syafi’y, seekor kambing untuk satu orang serta seisi rumahnya.

Pendapat ini sesuai hadits yang disampaikan oleh At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah dari Atha’ ibn Yasar yang mengatakan: “

“Aku telah menanyakan kepada Abu Ayyub Al-Anshary tentang qurban mereka di zaman Rasulullah. Ayyub menjawab: “Di masa Rasulullah seorang laki-laki menyembelih seekor kambing qurban untuk dirinya dan seisi rumahnya. Mereka makan daging itu dan membagikannya kepada orang lain, sehingga orang-orang saling berlomba dengan qurbannya seperti yang engkau saksikan dewasa ini.” (dalam kitab Nailul Authar)

Di masa Rasul seorang Muslim yang mampu, cukup menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan seisi rumahnya.

Jelaslah bahwa berqurban adalah fardhu (wajib) kifayah, dan untuk satu rumah tangga cukup dikerjakan oleh kepala keluarga. Menurut Ar-Ramly, hukumnya sunnah kifayah, yakni apabila telah dilaksanakan oleh seorang dari sebuah rumah, gugurlah kewajiban bagi anggota rumah yang lain, bahkan yang lain juga mendapat pahala.

Dengan demikian persepsi di dalam masyarakat bahwa satu ekor kambing untuk satu orang, dan apabila sebuah rumah dihuni oleh lima orang, mereka berqurban dengan lima ekor kambing, sangkaan ini tidaklah tepat.

Keterangan selengkapnya tentang hukum dan tata cara berqurban dapat Anda baca di buku Tuntunan Qurban & Aqiqah, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, terbitan PT. Pustaka Rizki Putra Semarang. [h_ar]

HIKMAH

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga merubah keadaan yang ada pada mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)

EDISI 8 - NOPEMBER 2007

ALLAH MENYUKAI MUKMIN YANG KUAT

Oleh: Sulaiman al-Kumayi, M.Ag (Kandidat Doktor Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang)

Setiap diri manusia dianugerahi oleh Allah kekuatan dan kekokohan sebagai sarana untuk bisa "menaklukkan" dunia ini." Kekuatan dan kekokohan ini tergantung kepada manusia mau digunakan untuk kebaikan ataukah kejahatan.

Allah sangat menghargai mereka yang memberikan kehidupan atau memelihara orang lain dengan ganjaran yang luar biasa, dan menghukum mereka yang membunuh manusia dengan dosa yang sangat berat, sebagaimana firman-Nya: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu [membunuh] orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 32)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Siapa yang mencari dunia yang halal untuk menjauhkan diri dari meminta-minta, dan berusaha untuk keluarganya, dan untuk baik dengan tetangganya, akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat mukanya bagaikan bulan purnama. Dan siapa yang mencari dunia halal untuk memperbanyak, dan berbangga dan sombong, akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat sedang Allah murka kepadanya.”

Dalam hadits lain, Nabi bersabda, “Tiada seorang yang membuka jalan bagi dirinya untuk meminta-minta, melainkan akan dibukakan baginya oleh Allah pintu kemiskinan, dan siapa yang menjaga kehormatan dirinya, Allah akan membantu menjagakannya; dan siapa yang mencukupkan diri dengan apa adanya, maka Allah akan mencukupkannya. Bila seorang mengambil tali lalu pergi ke hutan untuk mengambil kayu, lalu dibawa ke pasar dijual di sana dengan satu mud korma, niscaya yang demikian itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang, baik ia diberi atau ditolak.”

Anas bin Malik berkata, “Seorang datang kepada Nabi dan minta suatu kebutuhan. Kemudian Nabi bertanya, “Apakah di rumah tidak apa-apa?” Jawabnya: “Ada tikar yang sudah robek, kami duduk, tidur di atasnya dan menjadikan separohnya untuk selimut, dan bejana untuk makan, minum dan mencuci kepala.” Rasulullah bersabda, “Bawalah ke sini keduanya.” Orang itu pun segera membawa keduanya kepada Nabi. Setelah Nabi menerima barang tersebut, beliau segera menawarkannya kepada para sahabat yang hadir, “Siapakah yang akan membeli kedua barang ini?” Salah seorang sahabat berkata, “Saya akan membelinya satu dirham.” Nabi menawarkan lagi: “Siapakah yang suka melebihi satu dirham?” Ada yang menjawab: “Saya ambil keduanya dengan dua dirham.” Kemudian Nabi menyerahkan barang itu kepadanya, dan sesudah diterima uangnya oleh Nabi langsung diserahkan kepada si pemiliknya dan beliau bersabda, “Satu dirham kamu belikan makanan untuk keluargamu, sedang yang satu dirham kamu belikan kapak dan bawalah kemari.”

Orang itu pun pergi dan membeli sesuai yang diperintahkan Nabi. Setelah itu ia menghadap Nabi dan menyerahkan membawa kapak itu kepada beliau. Lalu Nabi memasang gagang kayu [pegangan] kapak, dan beliau menyuruh orang itu agar mencari kayu dan dijual, dan jangan datang lagi selama lima belas hari. Orang itu pun pergi dan dapat mengumpulkan uang sepuluh dirham untuk membeli makanan dan pakaian keluarganya, lalu ia melaporkan kepada Nabi tentang perkembangan dirinya.

Mendengar itu Nabi pun bersabda: “Tidakkah ini lebih baik bagimu daripada kamu datang pada hari kiamat sedang meminta-minta dengan titik hitam di mukamu, yang tidak dapat dihapus kecuali dengan api neraka.”

Menurut Hasbi, Islam mengharamkan mengemis dan hidup hanya dengan menunggu pemberian dan belas kasihan orang semata-mata. Seharusnya, didorong oleh iman dan tawakal yang bulat kepada Allah, Anda bersemangat dalam hidup, bekerja keras mencari kekayaan, kebahagiaan dan ketinggian martabat hidup di dunia sebagaimana disabdakan Nabi: "Bahwasanya mengemis itu tidak dihalalkan, kecuali untuk salah seorang dari yang tiga ini. Pertama, orang yang telah diberatkan menanggung dan membayar diyat. Ia boleh meminta sehingga ia dapat menutupi keperluannya itu. Kedua, orang yang ditimpa bencana terhadap harta-hartanya. Ia boleh meminta-minta sampai ia memperoleh modal untuk menunjang hidupnya. Ketiga, orang yang tertimpa kemiskinan yang disaksikan oleh tiga orang yang terpandang dari kaumnya. Ia boleh me-minta sehingga ia memperoleh kesanggupan untuk menumpu hidupnya. Selain dari itu, semuanya diharamkan." (HR. Ahmad)

Dalam hadits yang lain disebutkan: "Meminta-minta itu suatu corengan, sengaja dicoreng mukanya oleh pe-minta sendiri, terkecuali jika seseorang meminta kepada pihak yang berkuasa dari kas negeri atau di sesuatu urusan yang tidak dapat tidak." (HR. Abu Dawud).

[] Referensi:

Prof. Dr. Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, Jil. I (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001).

Sulaiman Al-Kumayi, MA., Inilah Islam: Mengungkap Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Tafsir, Feminisme, Teologi, Neo-Sufisme, dan Gagasan Menuju Fiqh Indonesia (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2006).

DIALOG

ANAK KECIL BERHAJI, BOLEHKAH?

Tanya:

Bagaimanakah hukumnya anak kecil yang belum baligh menunaikan ibadah haji? (Abdullah ibn Abdillah, Lhokseumawe)

Jawab:

Apabila seorang anak kecil yang belum baligh (belum sampai umur) atau belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik-buruk, salah-benar), maka hajinya itu sah dan mendapat pahala, meskipun dosa anak kecil itu belum dicatat dalam daftar dosa. Namun demikian, hajinya itu bukan merupakan haji yang wajib atas orang Islam yang mempunyai kemampuan, karena anak kecil itu belum baligh dan kelak ia harus memunaikan haji lagi setelah baik apabila sanggup.

Diterangkan oleh At-Tirmidzi, bahwa ahli fiqh telah sependapat bahwa anak kecil yang mengerjakan haji sebelum sampai umur, wajib menunaikan ibadah haji lagi sesudah sampai umur (dewasa). Demikian pula terhadap budak belian yang telah merdeka, meskipun ia telah mengerjakan haji dalam masa perbudakannya.

Ibnu Abbas menceritakan bahwa ada seorang wanita yang mengadukan perihal bayi/anak kecil kpada Rasulullah dan bertanya, “Apakah ada haji bagi anak kecil ini?” Rasulullah menjawab, “Ada, dan engkau mendapat pahala (terhadap biaya yang engkau keluarkan untuknya dan terhadap usaha untuk mengerjakan haji).”

Keterangan selengkapnya dapat Anda baca dalam buku Pedoman Haji, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, terbitan Pustaka Rizki Putra, hlm. 174)

HIKMAH

"Orang mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih Allah sukai daripada orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban)

EDISI 7 - NOPEMBER 2007

AGAMA ADALAH NASIHAT

Nasihat mempunyai makna yang beragam. Di antaranya, menurut Imam Al-Khathaby, nasihat adalah suatu rangkaian kata yang menghendaki kebajikan untuk orang yang dinasihati. Dalam hadits tersebut juga menegaskan bahwa sendi agama adalah nasihat. Maksudnya, Islam akan bisa berdiri dengan tegak apabila didasari sikap saling menasihati dalam kebenaran.

Ada pula yang memaknai nasihat adalah ketulusan.

Sikap saling memberikan nasihat sangatlah ditekankan dalam Islam agar umatnya tidak terperosok dalam jurang kerugian. Bahwasanya manusia dalam kerugian, kecuali, salah satu di antaranya orang-orang yang saling memberikan nasihat dalam kebenaran dan kesabaran. (baca QS. Al-‘Ashr: 3)

Nasihat kepada Allah ialah beriman secara tulus kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya, tidak mengingkari sifat-Nya. Menyifati-Nya dengan segala sifat kamal (kesempurnaan) dan jalal (keagungan), mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, melaksanakan ketaatan, menjauhi maksiat, cinta dan benci terhadap sesuatu hanya karena Allah, memberikan bantuan kepada orang-orang yang menaati-Nya, mengetahui nikmat-Nya dan mensyukuri-Nya, berlaku ikhlas dalam segala hal, serta mengajak manusia kepada segala sifat tersebut dan berlaku lemah lembut kepada seluruh manusia.

Nasihat kepada kitab-Nya ialah beriman secara tulus bahwa kitab-Nya itu adalah kalam (perkataan)-Nya dan diturunkan (tanzil) oleh-Nya. Mengimani bahwa kalam-Nya (Al-Qur’an) tidaklah serupa dengan kalam makhluk dan tak seorang makhluk pun dapat menandinginya. Memuliakannya, membacanya dengan memenuhi segala hak (hukum) tilawahnya, membaguskan bacaan dan berlaku khusyuk ketika membacanya. Orang yang mengimani kitab-Nya, akan mengucapkan per hurufnya dengan baik, membelanya dari kritikan orang, membenarkan segala isinya, melaksanakan segala hukum, ilmu serta perumpamaan yang terkandung di dalamnya. Mengambil segala pengajaran dan nasihat-Nya, melaksanakan ayat-ayat muhkam (yang sudah jelas muatan hukumnya) dan menyerahkan pergertian/pemahaman ayat-ayat yang mutasyabih (masih samar kejelasan hukumnya) kepada Allah. Mengkajinya serta mempelajari ilmu-ilmu pendukungnya dan mengajak manusia untuk mengikutinya.

Nasihat kepada Rasul-Nya ialah membenarkan dengan tulus risalahnya, mengimani segala apa yang datang dari Rasul, menaati perintahnya, menjauhi segala larangannya, membantu beliau saat masih hidup atau sesudah wafat, memusuhi orang yang memusuhinya, membantu orang yang membantunya, menghormati dan menagungkan haknya, menghidupkan tariqatnya, sunahnya, mengembangkan dan menyebarkan seruannya, menolak tuduhan negatif orang terhadapnya, memahami syariatnya, menyeru manusia kepada syariatnya, berlaku lemah lembut dalam mengajarkan syariatnya, memuliakan sunnah, berlaku sopan ketika membaca kitab hadits dan menahan diri membahas hadits tanpa didasari ilmu. Berakhlak sesuai dengan akhlak Rasulullah, mengasihi keluarga dan sahabatnya, serta menjauhi orang yang berlaku bid’ah dalam agamanya.

Nasihat kepada pemimpin umat Islam ialah ketulusan membantu menaati dan menyeru mereka dalam hal kebenaran. Mengingatkan mereka dengan cara yang santun, menyadarkan kelalaian mereka dan tidak melakukan pemberontakan.

Adapun nasihat kepada umat Islam, ialah menunjukkan kepada mereka kepada kemaslahatan dunia dan akhirat, meghindarkan bencana yang akan menimpa mereka, mengajarkan kepada mereka apa yang tidak mereka ketahui, menunjukkan mereka kepada kebenaran dan menjauhkan mereka dari kesesatan baik dalam urusan dunia maupun agama, membantu mereka dalam beragama, menutup aib mereka, melakukan upaya-upaya yang dapat mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan kemudaratan terhadap mereka. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada mereka dengan cara lemah lembut dan ikhlas (tulus), menyayangi mereka, menghormati orang yang lebih tua, menyayangi anak-anak kecil di antara mereka dan mencari waktu yang tepat untuk memberikan pengajaran kepada mereka.

Nasihat itu harus diberikan sebatas kemampuan seseorang. Apabila pemberi nasihat mengetahui bahwa orang yang akan diberi nasihat ketika mendengar akan menerima dan tidak akan terjadi apa-apa, maka hal itu boleh dilakukan. Tetapi apabila akan berdampak buruk bagi dirinya dan orang lain, maka ia boleh memilih antara memberi nasihat atau tidak.

Dalam memberikan nasihat kepada seseorang, sebaiknya tidak dilakukan lang­sung di hadapan orang banyak. Seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa memberi nasihat kepada saudaranya dengan tidak diketahui orang lain, maka itulah yang dinamakan memberikan nasihat. Apabila memberikan nasihat kepada saudaranya dilakukan di muka umum, maka sebenarnya ia telah memberikan hardikan kepada saudaranya itu.”

Al-Fudhail ibn Iyadh mengatakan, “Orang mukmin akan menutup aib lain dan berlaku jujur dan ikhlas dalam memberikan nasihat. Orang fasik merusak kehormatan orang lain (dengan memperlihatkan aib orang lain) dan mengabaikan orang lain.”

Kesimpulannya, seorang Muslim harus tulus (nashih) dalam menaati perintah Allah dan Rasul-Nya serta menaati peraturan perundangan dari ulil amri yang benar. Seorang Muslim harus tulus dan berlaku lemah-lembut dalam memberikan nasihat kepada sesamanya. Kalaupun harus berdebat, haruslah dilakukan dengan cara yang ihsan (baik) “… wajadilhum billati hiya ahsan…(QS. An-Nahl: 125).” [::h_ar]

Disadur dari: Mutiara Hadits 1, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

DIALOG

MENGERJAKAN HAJI UNTUK ORANG LAIN, BOLEHKAH?

Tanya:

Orang tua saya telah berniat untuk melaksnakan haji. Namun karena sudah uzur dan kondisi fisiknya tidak memungkinkan, bolehkan saya berhaji dengan atas namanya?

(Ibnu Abdullah, Lhoksemawe)

Jawab:

Menurut jumhur ulama, orang yang sanggup melaksanakan haji, kemudian mengalami keuzuran dan dia tidak dapat melaksanakannya di waktu masih kuat serta kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakannya, maka hajinya itu harus dilaksanakan oleh orang lain atas namanya. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw. yang disampaikan oleh Fadhl ibn Abbas. Diriwayatkan, ketika seorang wanita dari kaum Khat’am mengadukan kepada Nabi perihal ayahnya yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakan haji, dan ia akan melaksanakan haji atas nama ayahnya, maka Nabi memperbolehkan hal tersebut.

Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam hal ini. Golongan Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah membolehkan, dengan menetapkan syarat-syarat keuzurannya. Golongan Malikiyah berpendapat haji tidak digantikan oleh orang lain. Orang yang tidak mampu melaksanakan haji sendiri berarti gugur kewajibannya untuk berhaji, meskipun ia sanggup mengupah orang lain. Kalaupun ia mengupahkan kepada orang lain, ia tidak akan mendapat pahala haji itu. Ia hanya mendapat pahala “membantu orang lain menunaikan haji” dan mendapat keberkahan doanya. Dan seandainya haji itu dijadikan nazar, maka kewajiban itu tidak akan gugur kalau tidak ia laksnakan sendiri sewaktu masih hidup dan kuat, meski telah dilaksanakan ahli warisnya. Wallahu a’lam.

Keterangan selengkapnya dapat Anda baca dalam buku Pedoman Haji, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, terbitan Pustaka Rizki Putra, hlm. 181-188). [h_ar]

HIKMAH

“Apabila seseorang di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak sanggup maka dengan lisannya, apabila tidak sanggup, maka dengan hatinya. Yang sedemikian itu adalah selemah-lemah iman.” (Al-Hadits)

EDISI 6 - OKTOBER 2007

TANGGAL 1 SYAWAL: MUHASABAH (INTROSPEKSI) PASCA RAMADHAN UNTUK PERBAIKAN SATU TAHUN KE DEPAN

Oleh: Sulaiman al-Kumayi, M.Ag (Kandidat Doktor Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang)

Saat 1 Syawal tiba, itu pertanda kemenangan hakiki bagi orang-orang mukmin yang melaksanakan ibadah puasa dan amal-amal lainnya selama bulan Ramadhan. Bahkan, predikat muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) diperolehnya pada saat itu sesuai dengan tujuan utama berpuasa di bulan Ramadhan (baca: QS. Al-Baqarah [2]: 183). Sebuah predikat tertinggi yang diberikan langsung oleh Allah. Melalui predikat ini akan tumbuh kesadaran dalam diri manusia tentang kehadiran Allah dalam hidupnya. Sehingga, kapan pun dan di mana pun berada ia selalu merasa diawasi oleh Allah.

Dalam Tafsir An-Nuur (karya Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy) dijelaskan bahwa orang-orang beriman selama bulan Ramadhan dibiasakan takut akan Allah baik secara rahasia maupun terang-terangan. Orang yang berpuasa tak ada yang memata-matai selain Allah. Apabila ia meninggalkan keinginan-keinginan nafsunya, yakni makan yang sedap, minum yang lezat, istri yang mengikat hati, semata-mata karena menuruti perintah Tuhannya dan tunduk kepada petunjuk agama.

Rasa takut kepada Allah inilah seharusnya yang menjadi pegangan dalam hidup kita. Pegangan yang dapat memotivasi seseorang untuk selalu berbuat yang terbaik dalam hidupnya. Berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain. Ia sangat takut untuk berbuat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Karena ia sadar sekecil apa pun kebaikan atau keburukan yang dilakukannya pasti akan menerima ganjarannya. Firman Tuhannya: “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun [sekecil partikel], niscaya ia akan melihat [balasan]nya; dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat [balasan]nya pula.” (QS. Al-Zalzalah [99]: 7-8), betul-betul selalu diingatnya bersamaan dengan keluar masuk nafasnya. Karena itu, ia berusaha sekuat tenaganya hanya untuk beramal kebajikan selama hidupnya dan tidak pernah bermain-main dengan kemaksiatan. Ini ia lakukan semata-mata karena takut amal-amalnya ditolak oleh Allah.

Dalam buku Pedoman Puasa, karya Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, disebutkan bagaimana ulama-ulama salaf terdahulu sangat takut kepada Allah. Mereka takut amal-amal mereka ditolak oleh Allah. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau berkata, “Hendaklah kamu, lebih memperhatikan diterimanya ibadah-ibadah (amal-amal)mu daripada terhadap pelaksanaan amal ibadah itu sendiri. Apakah kamu tidak mendengar firman Allah, “Sesungguhnya Allah hanya menerima amal ibadat dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 27)

Diriwayatkan dari Fadhalah bin `Ubaid, katanya, “Aku mengetahui bahwa Allah telah menerima amalku sebesar biji sawi lebih aku sukai daripada diberikan dunia dan isinya kepadaku karena Allah telah berfirman, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima amal ibadat dari orang-orang yang bertakwa.’”

Kata Ibnu Dinar, “Takut kepada tidak diterimanya amal ibadat kita di sisi Allah, hendaklah lebih kuat daripada takut tidak dapat beramal.”

Ada seorang ulama salaf pada hari raya (Idul Fitri) wajahnya gundah, lalu ditanyai oleh seseorang, “Mengapa Anda bermuram durja, bukankah hari ini hari kita bersenang-senang dan bergembira?” Ia menjawab, “Benar apa yang telah engkau katakan, akan tetapi saya ini seorang hamba yang diperintahkan mengerjakan sesuatu amal. Saya khawatir apakah amal-amal yang sudah saya kerjakan selama ini diterima ataukah ditolak Allah.”

Meneladani kekhawatiran para ulama salaf di atas, bulan Ramadhan kemarin seharusnya menjadi tempat pelatihan ruhani (spiritual training, riyadhah ruhaniah) bagi kita untuk mempersiapkan diri menapaki hidup selanjutnya. Hidup yang betul-betul berbeda dari sebelumnya. Hari-hari selalu dijalani dengan semangat Ramadhan. Semangat yang selalu berisi keinginan untuk melakukan ibadah dengan ikhlas; shalat malam setiap malam. Semangat untuk tidak mengisi perut ini dengan makanan-makanan yang tidak halal. Semangat untuk menjaga hati dan pikiran dari hal-hal yang dapat merusak kesucian.

Mari kita renungkan bersama: setelah sebulan lamanya kita berusaha mendekatkan diri kepada Allah, setelah kita mengurangi makan dan tidur untuk menaati ketentuan dan petunjuk Allah, kita akan diuji sampai Ramadhan yang akan datang. Apakah kita termasuk hamba-hamba Allah yang setia mengikuti ketentuan dan petunjuk-Nya, sehingga sedikit demi sedikit kita naik ke maqam yang lebih tinggi, setapak demi setapak kita mendekati Allah yang Mahamulia. Ataukah ruhani kita yang indah yang tumbuh subur di bulan Ramadhan yang dilukiskan Al-Quran seperti al-mar`a, rerumputan yang hijau, akan berubah menjadi ghutsa`an ahwa, sampah yang hitam? Hanya kepada Allah kita menggantungkan harapan. [h-ar]

DIALOG

BOLEHKAH MENGQADHA PUASA SAMPAI BULAN SYA’BAN TAHUN YANG AKAN DATANG?

Tanya:

“Bolehkah mengqadha puasa Ramadhan sampai bulan Sya’ban tahun depan?” (Abdullah, Lhok Sukon)

Jawab:

Dalam sebuah hadits, Aisyah mengatakan: “Saya mempunyai hutang puasa Ramadan. Saya belum sanggup mengqadhanya, kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena kesibukkannya dalam mengurusi kebutuhan Rasulullah, Aisyah baru sempat mengqadhanya pada bulan Sya’ban (1 bulan sebelum Ramadhan) tahun berikutnya. Para ulama sepakat bahwa seorang istri berpuasa sunnat apabila suami berada di tempat tanpa izin suami.

Demikian yang terjadi pada Aisyah, bagaimanakah batasan waktu kita mengqadha puasa Ramadhan?

Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi’i serta Ahmad berpendapat bahwasanya qadha Ramadhan terhadap orang yang berbuka (tidak berpuasa) lantaran uzur seperti haid, boleh ditelatkan, tidak harus disegerakan. Tetapi tidak diboleh dilambatkan dari bulan Sya’ban.

Daud mewajibkan kita bersegera mengqadha puasa Ramadhan pada hari pertama sesudah Ied (2 Syawal). Ulama Syafi’iyah mewajibkan qadha dengan segera apabila kita berbuka (tidak berpuasa) tanpa uzur.

Para ulama sepakat bahwa jika orang yang meninggalkan puasa itu tidak mengqadhanya sampai lewat bulan Sya’ban, maka dia wajib memberikan fidyah kalau mempunyai kesempatan untuk mengqadhanya. Orang yang berbuka lantaran uzur dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengqadhanya, maka ia dibebaskan dari qadha dan fidyah.

Intinya, kita boleh mengqadha Ramadhan yang kita tinggalkan karena uzur kapan kita inginkan asal belum sampai Ramadhan berikutnya.

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa berbuka pada sehari di bulan Ramadhan dengan tidak ada uzur dan tidak sakit, niscaya tidaklah dapat diqadhai puasanya oleh puasa sepanjang masa walaupun ia melakukannya.”

Keterangan selengkapnya dapat Anda baca pada Mutiara Hadits jilid 4 dan Pedoman Puasa, karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.

HIKMAH

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian diikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itulah puasa sepanjang masa.” (HR. Muslim)

Jumat, 25 Januari 2008

EDISI 5 - OKTOBER 2007

IDUL FITRI, HARI KESETIAKAWANAN SOSIAL UMAT ISLAM
INSYA ALLAH dalam beberapa hari mendatang, kita umat Islam “dapat” merayakan hari kemenangan ini pada tanggal yang sama. Diharapkan agar peristiwa hari besar ini tidak terus dibayangi perbedaan cara menetapkan tanggal 1 Syawal.
Akan lebih elok jika kita mengikuti penetapan yang dilakukan oleh Pemerintah Saudi Arabia, sehingga seluruh dunia Islam termasuk Indonesia dapat bersama-sama merayakannya.
Dengan berpedoman bahwa letak Ka’bah yang menjadi kiblat shalat umat Islam terletak di kota Makkah, Rasulullah lahir di sana dan Al-Qur’an juga diturunkan di sana, serta agama Islam juga berawal dari sana, maka sudah selayaknya kita mengikuti penetapan 1 Syawal yang ditetapkan oleh Pemerintah Saudi Arabia. Jika pendapat ini kita pegang, maka syiar kebesaran Idul Fitri lebih terasa agung.
Mengenai pelaksanaan berhari raya ini yang ditetapkan oleh Pemerintah Saudi Arabia, sudah dipraktikkan oleh Pemerintah Mesir. Walaupun sebelumnya sudah ada penetapan tentang jatuhnya 1 Syawal, namun jika Pemerintah Saudi Arabia menetapkan tanggal yang berbeda, Pemerintah Mesir pun menyesuaikan diri. Begitu juga umat Islam di Australia, juga mempraktikkan hal yang sama.
Dekrit Rasulullah tentang merayakan Idul Fitri
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i, bahwa setelah berada di Madinah selama satu tahun, Rasulullah masih menyaksikan penduduk kota Madinah merayakan hari Nairuz dan hari Mahrayan. Rasulullah pun memerintahkan para sahabat menghentikan perayaan Jahiliyah itu dan menggantinya dengan hari raya Fitri dan hari raya Adhha.
Di samping dua hari raya tersebut, umat Islam juga diperintahkan merayakan Idul Jum’at. Setelah melaksanakan shalat fardhu lima kali sehari semalam selama satu minggu, umat Islam menyempurnakan hari-harinya dalam seminggu dengan melaksanakan shalat Jum’at.
Allah telah memfardhukan bagi setiap umat Islam, satu hari dalam seminggu berkumpul bersama untuk merenungkan awal kejadian makhluk, dan merenungkan pahala dan dosa. Pada saat itu kita merenug kepada pertemuan Mahsyar nanti. Tidak ada hari yang layak untuk dijadikan pertemuan mengenang hari Mahsyar selain hari Jum’at.
Idul Jum’at disebut juga Idul Usbu’ (hari raya mingguan). Pada hari Jum’at tidak disukai kita berpuasa, kecuali kita melanjutkan puasa yang telah kita mulai pada hari-hari sebelumnya.
Idul Fitri adalah manifestasi dari pengabdian kita kepada Allah dan manifestasi amalan sosial kita kepada masyarakat
Nabi telah mensyariatkan beberapa sunnah yang menjadikan Idul Fitri tetap dalam ranah (wilayah) kebajikan. Di antara sunnah yang nyata adalah:
1. Bertakbir.
2. Shalat hari raya.
3. Mengeluarkan sedekah untuk fakir.
Sesungguhnya sedekah yang kita berikan pada hari raya Fitri, tidak terbatas pada zakat fitrah saja. Rasulullah menganjurkan kita mengerjakan amalan-amalan sosial yang lain. Di samping menyedekahkan beras [atau bahan makanan pokok lainnya], dianjurkan agar mereka yang berpunya memberikan baju baju penutup aurat kepada yang tidak berpunya. Janganlah mereka yang mengeluarkan zakat fitrah, menganggap kewajibannya sudah selesai. Pada pundak hartawan terpikul pula kewajiban menutup tubuh mereka yang tidak berbaju. Kebajikan sosial merupakan manifestasi agama secara universal, yang mencakup aspek dunia, akhirat, spiritual dan material.
Adalah pemandangan yang sangat menyedihkan pada saat Idul Fitri dan hari-hari raya yang lain, masih ada jama’ah yang datang ke tanah lapang dengan memakai kaos oblong yang kumal serta selembar kertas koran sebagai sajadah. Sedangkan di sampingnya kita lihat mobil mewah berderet yang penumpangnya keluar dari mobil-mobil tersebut dengan baju muslim keluaran terakhir.
Islam bukan agama yang hanya meletakkan beban hukum kepada umat, tetapi memberikan pula ruang kepada umat untuk bersenang-senang (rukhshah)—dalam batas-batas yang diperbolehkan syariat. Segala yang disyariatkan untuk merayakan Idul Fitri dan Idul Adhha merupakan syiar bagi kebaikan perorangan dan masyarakat.
Islam tidak mewajibkan kita membangun pintu-pintu gerbang dan memasang bendera dan menyumbang untuk kegiatan yang tidak bermanfaat. Islam hanya mewajibkan bertakbir, shalat Id, dan mengeluarkan sedekah serta memperbanyak kebajikan.
Shalat Id di lapangan terbuka merupakan pertemuan terbaik untuk menyambung silaturrahim dan saling mengucapkan tahniah (ucapan selamat) hari raya.[] [H.Z. Fuad Hasbi]

DIALOG
BAGAIMANAKAH UCAPAN SELAMAT IDUL FITRI YANG BENAR?
Tanya:
Pada setiap Idul Fitri kita mendengar orang menyapa dengan sapaan “Minal ‘âidîn wal fâizîn.” Yang saya tanyakan, apakah ucapan ini berasal dari para sahabat Nabi, atau muncul untuk mengganti tahniah para sahabat yang agak sulit dilafalkan? (Syamsul, Kruenggekueh)
Jawab:
Dalam Islam, seyogianya tahniah (ucapan selamat) yang kita ucapkan harus mengandung doa, seperti ucapan: Assalâmu’alaikum (artinya: semoga keselamatan terlimpah kepada kalian). Dari beberapa hadits dikatakan: Apabila sahabat-sahabat Rasulullah saling berjumpa pada hari Id, mereka saling menyapa dengan ungkapan: Taqabbalallâhu minnâ wa minkum (artinya: semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kamu/kalian ).
Adapun ungkapan: Minal ‘âidîn wal fâizîn (artinya: dari orang-orang yang kembali dan beruntung), sampai saat ini belum diketahui asal-usulnya, siapa yang mempopulerkannya. Yang jelas bukan dari zaman Nabi.
Seyogianya kita yang tahu, kembali menyapa dengan tahniah yang sudah berlaku di zaman Rasulullah. Pula, tahniah ini adalah doa agar puasa Anda dan kami diterima oleh Allah.
Keterangan selengkapnya dapat Anda baca di buku Pedoman Puasa, karya Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[]

HIKMAH

Rasulullah bersabda, “Barang­siapa berqiyam (menegakkan ibadah) di bulan Ramadhan karena iman kepada Allah dan karena mengharap pahala dan ampunan serta ridha-Nya, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim, At-Targhib, 2: 214, dalam Pedoman Puasa, Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy)

EDISI 4 - SEPTEMBER 2007

AMALAN-AMALAN UTAMA DI BULAN RAMADHAN


RAMADHAN adalah bulan penuh berkah atau kebaikan. Amalan sunnah apabila dilaksanakan dengan ikhlas, akan diberi pahala seperti pahala wajib, dan amalan wajib akan diberi pahala berlipat.

Amal kebajikan apakah yang seyogianya kita laksanakan pada bulan Ramadhan?
Banyak amalan yang dapat kita laksanakan, di antaranya:
Pertama, banyak bersedekah. Banyak bersedekah atau berbuat ihsan kepada fakir miskin, anak yatim dan orang-orang yang membutuhkan, baik di bulan Ramadhan atau selainnya, dalam bahasa syari’at disebut al-jud. Allah disifatkan dengan Jud Jawad karena sangat banyak pemberian-Nya dan Mahaluas anugerah-Nya.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah sangat banyak pemberian-Nya, menyukai banyak memberi, lagi Maha Pemurah, menyukai kemurahan tangan.” (Latha’if Al-Ma’arif: 173)

Kedua, memperbanyak tilawah Al-Qur’an dan mentadaruskannya (mengkajinya).
Ramadhan adalah bulan yang mulia karena dalam bulan tersebut Al-Qur’an diturunkan sebagai kitab yang terakhir untuk mensucikan akidah dan jiwa para hamba.
Al-Qur’an juga merupakan dzikir dan doa. Sebagai sarana memohon kebajikan, rahmat dan ampunan Allah.

Membaca Al-Qur’an yang baik adalah dengan memperhatikan adab-adabnya. Menurut Al-Ghazali, adab-adab tersebut adalah:
1. Khusyuk (hadir hati).
2. Memahami kebesaran dan ketinggian Al-Qur’an sebagai Kalamullah, keutamaan Allah dan kemurahan-Nya.
3. Membesarkan Dzat Allah di kala membaca Al-Qur’an.
4. Mentadabburkan Al-Qur’an. Harus disertai dengan memikirkan dan memahami apa yang kita baca, serta tartil.
5. Melepaskan diri dari segala hal yang menghalangi untuk memahami Al-Qur’an.
6. Setiap perintah Allah yang kita baca kita anggap dihadapkan kepada kita, merasa kitalah yang diperintah, diancam dan diberi kabar gembira.
7. Merasa berkesan dengan apa yang kita baca. Merasa takut ketika membaca ayat takhwif dan merasa gembira ketika membaca ayat tabsyir.
8. Hendaklah kita berusaha merasa bahwa suara bacaan yang kita dengar, seolah-olah langsung kita dengar dari Allah.


Ketiga, melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih).
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berqiyam di bulan Ramadhan karena iman kepada Allah dan karena mengharap pahala dan ampunan serta ridha-Nya, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim, At-Targhib, 2: 214)
Keempat, mengerjakan umrah. Banyak hadits Nabi yang menyatakan keutamaan umrah di bulan Ramadhan, di antaranya: “Sesungguhnya mengerjakan umrah di bulan Ramadhan, mengimbangi (setara) dengan sekali haji atau sekali haji bersamaku.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Hal ini memberi pengertian bahwa mengerjakan umrah di bulan Ramadhan sangat besar pahalanya. Namun demikian, tidak memberi pengertian bahwa umrah tersebut menggugurkan perintah haji.

Kelima, mengeluarkan sedekah fithri (zakat fitrah/makanan pokok) yang diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan untuk mensucikan diri dan menambal kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi pada puasanya dan sebagai perwujudan bagi kesempurnaan puasa dan kasih sayang kepada fakir miskin.
Disebut zakat fithri adalah karena telah menyelesaikan puasa (fithr, ifthar= berbuka). Demikian pula disebut Idul Fithri, makna asalnya hari raya berbuka, atau kembali makan.
Keenam, Mengerjakan shalat Idul Fithri dan meghidupkan malam hari raya tersebut dengan banyak berdzikir, takbir, doa dan istighfar.
Semoga Allah menerima puasa dan segala amal ibadah kita. Allahumma taqabbal minna shiyamana wa jami’a ‘ibadatina.
[hilya_ar]

DIALOG
BERAPAKAH RAKAAT SHALAT TARAWIH YANG DIAJARKAN OLEH NABI?

Tanya:
“Berapakah jumlah rakaat shalat Tarawih yang diajarkan oleh Rasulullah? (Abdullah, Lhokseumawe)

Jawab:
Rasulullah mengerjakan shalat Tarawih sebanyak delapan rakaat. Sesudah mengerjakan Tarawih, beliau mencukupkannya sebelas rakaat dengan witir.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Aisyah berkata: “Bahwasanya Rasulullah tidak pernah melebihi di bulan Ramadhan dan bulan selain Ramadhan sebelas rakaat.”

Adapun riwayat Abed ibn Humaid dan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah melakukan shalat di bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir adalah dhaif (lemah). Karena riwayat tersebut diterima dari Abi Syaibah Ibrahim ibn Utsman. Abi Syaibah dinyatakan lemah oleh Ahmad, Ibnu Mu’in, Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan lain-lain.
Keterangan selengkapnya dapat Anda baca dalam Pedoman Puasa, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

HIKMAH

Salah satu hikmah atau essensi puasa adalah untuk menghidupkan kekuatan pikir dan pandangan mata hati (bashirah). Lukman berkata kepada anaknya, “Hai anakku, apabila perutmu telah penuh sesak oleh makanan, maka tidurlah pikiranmu, kelulah hikmah dan berhentilah seluruh anggota badanmu untuk beribadah kepada Allah dan hilanglah kebersihan hati (jiwa) dan kehalusan pikiran, yang hanya dengan keduanyalah dapat diperoleh nikmat bermunajat kepada Allah dan berbekasnya dzikir pada jiwa. (Asrararusy Syari’ah, 1: 136)

Kamis, 10 Januari 2008

EDISI 3 - AGUSTUS 2007

MENYAMBUT BULAN RAMADHAN

BULAN suci Ramadhan, bulan penuh ampunan, sebentar lagi akan segera tiba. Inilah masa ketika seluruh umat Islam di dunia bersiap-siap menanti kedatangannya, untuk menyambut bulan suci itu dengan penuh harapan, penuh suka cita dan kegembiraan.

Melangkah memasuki gerbang puasa, berarti memasuki pintu muhasabah atau perenungan dan gerbang mujahadah. Karena itu sudah selayaknya sebelum kita melangkahkan kaki, kita menyiapkan bekal terlebih dahulu. Bekal ini berupa:

Pertama: mendalami kembali pengetahuan berkenaan dengan puasa, agar kita memasuki dan menjalani bulan puasa itu dengan pengetahuan yang matang. Pengetahuan ini tentunya termasuk tentang rukun, syarat, mandub, makruh, adab, faedah, manfaat, rahasia, dan hikmah-hikmah yang dikandung puasa.

Kedua: memperlihatkan kegembiraan dan ketenangan jiwa dalam menghadapi bulan puasa, sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah dan para sahabat.

Ketiga: membanyakkan doa, semoga Allah memberikan kekuatan, kelapangan dan kesempatan mengerjakan puasa, dan mudah-mudahan Allah menganugerahkan kepada kita taufik agar dapat menunaikan puasa itu dengan hati tulus dan ikhlas jauh dari riya, ujub, sum’ah dan dari segala rupa penyakit yang menghilangkan pahala puasa.

Al-Mu’alla ibn Fadhil berkata: “Para sahabat membagi waktu dalam satu tahun menjadi dua bagian. Bagian pertama, mereka pergunakan untuk memohon kepada Allah, agar menerima puasa yang telah dilaksanakan. Bagian kedua, dipergunakan untuk berdoa serta memohon dan mengharap kepada Allah, agar memberikan kekuatan untuk melaksanakan kembali puasa yang akan datang itu.”

Keempat: menguatkan himmah atau semangat untuk menjalankan puasa dengan sempurna, agar Ramadhan dan puasa kita membekas selalu dalam sikap keseharian kita.

Menjalankan puasa dengan sempurna itu adalah tidak melewatkannya hanya sekedar untuk berlapar dahaga saja, tetapi menyadari sepenuhnya bahwa bulan puasa itu adalah bulan mujahadah, memerangi hawa nafsu, sikap loba dan tamak. Bulan puasa adalah bulan bercocok tanam untuk akhirat, bulan menanam bekal untuk hari kemudian, bulan membersihkan dan mensucikan diri dari berbagai dosa serta menghias diri dengan budi pekerti yang luhur.

Maka marilah kita menyiapkan diri untuk menunaikan segala hak puasa dengan tutur kata dan perbuatan. Mari kita mengumpulkan bekal untuk akhirat kelak di bulan Ramadhan ini dengan sepenuh hati .

Kelima: mempersiapkan diri untuk menjaga dan memupuk bibit-bibit amalan yang kita tanam di bulan Ramadhan, karena seseorang yang menanam bibit, tetapi tidak menyiram dan tidak merawatnya, maka ia hanya akan mengeluh sambil gigit jari di kala datang masa menuainya kelak, karena amalnya telah kering dan mati.

Akhirnya, mari sejenak kita lupakan urusan-urusan yang menghimpit. Dalam keadaan sesulit apapun, meski dalam kondisi keuangan yang serba sulit, dan semua kebutuhan hidup yang semakin mahal, mari bergembira menyambut kedatangan bulan Ramadhan, ‘sayyid asy-syuhur’ yang mulia ini. Bulan ibadah puasa yang tiada tandingan pahalanya.

Keenam: meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang memberatkan. Sebagian dari umat Islam ada yang menanti kedatangan bulan Ramadhan dengan memberatkan diri dalam urusan perbelanjaan. Yaitu pada bulan Sya’ban mereka bersemangat menyiapkan bermacam-macam makanan yang nikmat untuk bulan puasa. Menyiapkan segala rupa keperluan yang disediakan untuk puasa, mereka namai keperluan puasa. Ada tepung puasa, sagu puasa, minyak puasa, kayu puasa dan seterusnya. Mereka yang lazim atau terbiasa berbuka puasa dengan korma masak, sirup manis, juadah yang sedap dan halwa-halwa yang lezat, tentulah sangat kecewa dalam menyambut bulan puasa, apabila mereka tak dapat mengumpulkan makanan-makanan puasa itu, khususnya ketika bahan-bahan itu tidak diperoleh.

Ada sebuah kisah, seorang hartawan yang membeli seorang budak. Budak itu melihat tuannya yang kaya itu amat bersemangat dalam menyediakan makanan puasa. Dia bertanya kepada orang kaya itu: “Untuk apakah Tuan menyediakan makanan ini, selama ini Tuan tidak pernah seserius ini mencari dan mengumpulkannya?” Saudagar hartawan itu menjawab: “Untuk bulan puasa yang sebentar lagi akan tiba.” Mendengar jawaban tersebut, budak itu berkata: “Kiranya Tuan tak pernah berpuasa selain dari puasa Ramadhan dan kiranya Tuan mengerjakan puasa Ramadhan hanya untuk mengejar kenikmatan dengan membanyakkan rupa-rupa makanan saja. Saya tak dapat bersama Tuan, sudilah kiranya Tuan menjual saya kembali kepada tuan saya yang dahulu” (Latha’if Al-Ma’arif: 155)

Segala bentuk yang memberatkan diri terlebih lagi berlebih-lebihan adalah bertentangan dengan syariah. Sementara syariah menyuruh kita terlebih dulu agar memenuhi kebutuhan keluarga dan memperbanyak memberi makanan kepada fakir miskin.

Maka hendaknya kita hilangkan segala bentuk pekerjaan yang semata-mata memberatkan diri saja, bahkan sebagiannya menjadi tabdzir (mubadzir) dan israf (berlebih-lebihan).

Mari kita sambut Ramadhan, dengan niat hendak memperbanyak ibadah dan dengan kemauan hendak melatih diri untuk mensucikan jiwa.

Ketujuh: Mengucapkan tahniah atau ucapan selamat atas kedatangan Ramadhan.

“Ahlan wasahlan ya Ramadhan.”

Sumber: Pedoman Puasa, karya Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pustaka Rizki Putra Semarang. [hilya_ar]

DIALOG

Fidyah sebagai pengganti puasa bagi orang yang telah mati, bolehkah?

Tanya:

Bagaimanakah hukum membayar fidyah sebagai pengganti puasa orang yang telah mati? (Abina, 081-225789 xxx)

Jawab:

Diriwayatkan dari At-Tirmidzi, dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Barangsiapa meninggal dan memiliki kewajiban puasa yang ditinggalkan maka hendaklah diberi makan atas namanya sejumlah hari yang ditinggalkan kepada seorang miskin.”

Dari hadits di atas ulama mewajibkan fidyah atas orang yang meninggalkan puasa dan tidak dapat mengqadhanya sebelum ia meninggal dunia.

Menurut Imam Syafi’i, jika ia tidak mengqadhakan hingga sampai setahun tanpa ada uzur, wajiblah difidyahkan dan jika ada uzur, tidak diwajibkan.

Hukum membayar fidyah ini apabila ditahqiq dengan seksama ternyata hadits di atas tidak dapat dijadikan hujjah atau dasar hukum untuk mewajibkan fidyah atas nama si mati yang meninggalkan puasa, karena hadits ini dha’if.

Menurut kaidah al-bara’atul ashliyah kita tidak diwajibkan melakukan suatu urusan, melainkan ada dalil yang shahih. Sedangkan dalam masalah ini tidak ada dalil yang shahih. Ibnu Abdil Haq menguatkan, “Tidak ada hadits shahih yang menyuruh kita memberi fidyah untuk puasa si mati.

Wallahu a’lam.

Keterangan selengkapnya dapat Anda baca dalam Pedoman Puasa, karya Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pustaka Rizki Putra, Semarang.[] [hilya_ar]

HIKMAH

“Laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab [33]: 35)

“Di surga ada satu pintu yang diberi nama Ar-Rayyan. Pintu itu hanya untuk orang yang berpuasa. Setelah mereka semua masuk, pintu itu ditutup kembali sehingga tidak dimasuki oleh orang-orang yang tidak berpuasa.”(Muttafaq ‘Alaih, Shahih Al-Bukhari, 6/641; Shahih Muslim, 6/20)

EDISI 2 - AGUSTUS 2007

KEUTAMAAN HARI JUM’AT

NABI memuliakan hari Jum’at dan memandangnya sebagai suatu hari besar yang wajib dihormati dan dirayakan oleh seluruh umat Islam.

Nabi telah mengistimewakan hari Jum’at dengan beberapa ibadat yang tidak beliau laksanakan di hari-hari lain. Karena itu, hari Jum’at mempunyai banyak keistimewaan yang tidak patut diabaikan oleh umat Islam.

Keistimewaan-keistimewaan hari Jum’at

Syara’ telah mengistimewakan hari Jum’at dan menentukan berbagai tugas ibadah pada hari itu. Di antara ketentuan-ketentuan (keistimewaan-keistimewaan) yang ditetapkan syara’ berpautan dengan hari Jum’at ialah:

a. Menentukan surat Alif Lam Mim, Tanzil (surat As-Sajadah) dan Hal ata’ alal insani (surat Al-Insan) untuk kita baca dalam shalat Shubuh pagi hari Jum’at. Hikmah Tuhan menentukan surat-surat ini untuk shalat Shubuh hari Jum’at, karena surat-surat ini mengandung hal-hal yang telah terjadi dan hal-hal yang akan terjadi pada hari Jum’at. Dengan kita membaca surat-surat ini pada tiap-tiap pagi Jum’at (dalam shalat Shubuhnya) kita akan senantiasa teringat kepada kejadian-kejadian itu.

b. Menganjurkan secara khusus supaya kita membanyakkan shalawat untuk Nabi di malam dan di hari Jum’at. Nabi bersabda: “Perbanyaklah membaca shalawat untukku pada hari Jum’at dan malamnya.” (HR. Asy-Syafi’y, Al-Baihaqy dari Aus ibn Aus, Zadul Ma’ad: 1/142, Al-Fathur Rabbany: 6/11).

c. Menyuruh kita membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at.

d. Memfardhukan shalat Jum’at yang mempunyai beberapa ketentuan yang tidak terdapat pada shalat-shalat yang lain. Shalat Jum’at adalah fardhu yang amat kuat.

e. Menyuruh mandi, memakai wewangian, menggosok gigi dan menganjurkan kita berpakaian indah untuk ke sidang Jum’at.

f. Menyuruh menyegerakan pergi ke sidang Jum’at. Bersegera pergi ke si­dang Jum’at itu dianggap sama dengan menyembelih qurban.

g. Menyuruh membanyakkan shalat sunnat, dzikir dan bacaan Al-Qur’an setelah berada di dalam masjid hingga imam datang. Tegasnya, syara’ menjadikan hari Jum’at sebagai hari ibadat.

h. Mewajibkan untuk mendengar khutbah.

i. Membolehkan mengerjakan shalat sunnat di saat matahari sedang tergelincir.

j. Menentukan surat Al-Jumu’ah dan Munafiqun atau Al-A’la dan Al-Ghasyiyah dibaca dalam shalat Jum’at.

k. Menyuruh mendupa dan mewangikan masjid pada hari Jum’at.

l. Melarang bersafar di hari Jum’at sesudah masuk waktu, sebelum mengerjakan shalat Jum’at.

m. Menjadikannya sebagai hari Allah mengkafaratkan dosa hamba-hamba-Nya (hari pengampunan).

n. Terdapatnya saat istijabah (dikabulkan doa).

o. Memadamkan nyala api neraka.

p. Membesarkan dan meninggikan pahala pergi ke Jum’at.

q. Mengistimewakan pahala sedekah yang diberikan pada hari Jum’at.

r. Mensyaratkan khutbah sebelum shalat Jum’at.

s. Menyukai mempergunakan hari Jum’at untuk beribadah.

Dengan demikian hari Jum’at itu, adalah:

a. Hari ibadah.

b. Hari Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada para mukmin di dalam surga dan memperkenankan ziarah (mengunjungi-Nya).

Orang yang paling dekat kepada-Nya di hari ziarah, ialah yang paling dekat kepada imam. Dan yang paling segera ke Jum’at, paling segera pula pergi untuk menziarahi Allah pada hari ziarah di dalam surga.

c. Hari yang dijadikan Allah buat sumpah-Nya.

d. Hari gentar dan kecutnya bumi dan langit, seluruh makhluk jin dan manusia.

e. Hari yang dikhususkan Allah untuk umat Islam.

f. Hari pilihan dari hari-hari dalam satu mingguan.

g. Hari Tuhan mendekatkan ruh kepada kuburnya dan memungkinkan ruh mengenali orang-orang yang menziarahinya.

h. Hari yang tidak disukai kita khususkan untuk berpuasa.

i. Hari berkumpul untuk mengingatkan manusia dengan asal kejadian mereka dan dengan keadaan-keadaan hidup sekali lagi di akhir nanti.

Sumber:

Pedoman Shalat, Prof. Dr. Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2006

[hilya_ar]

DIALOG

Bolehkah membayar fidyah untuk mengqadha shalat?

Tanya:

Bagaimanakah hukumnya membayarkan fidyah bagi orang yang telah meninggal sebagai penebus atas kewajiban shalat yang telah ditinggalkan­nya? Bolehkah mengqadhakan shalat orang lain?

Jawab:

Nabi bersabda, “Barangsiapa lupa untuk menunaikan shalat atau tertidur, maka kaffaratnya ialah melaksanakan (shalat yang tertinggal itu) di kala ingat.” (HR. Bukhari dan Muslim, At-Taisir: 1/188)

Hadits ini menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena sengaja, tidak ada qadha untuk shalat yang ditinggalkannya itu. Barangsiapa meninggalkan shalat karena sengaja, ia berdosa. Cara untuk menghapus dosa itu hanyalah dengan tobat dan melanggengkan melaksanakan ketaatan dan memperbanyak ibadah setelah bertobat. Shalat yang telah ditinggalkan itu tidak dapat diganti dengan fidyah (kaffarat) atau digantikan oleh orang lain.

Para ulama dari kalangan Syafi’iyah mengemukakan, “Barangsiapa mati dengan meninggalkan shalat, maka tidaklah shalat itu dapat difidyahkan dan tidak pula diqadhakan oleh orang lain.

Keterangan selengkapnya dapat Anda baca di buku Pedoman Shalat, karya Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pustaka Rizki Putra, 2006. [hilya_ar]

HIKMAH

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at, membersihkan diri semampunya, meminyaki rambutnya dan memakai wewangian yang dia dapatkan di rumahnya, kemudian dia pergi ke tempat shalat Jum’at tanpa menerobos dua orang yang duduk di masjid, lalu dia melaksanakan shalat seperti yang diwajibkan kepadanya, dan diam ketika imam berkhutbah, niscaya diampuni dosanya antara Jumat itu dengan Jum’at sebelumnya.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, 3/399)