Sabtu, 26 Januari 2008

EDISI 1 - JANUARI 2008

KILAS BALIK SEJARAH & PERJUANGAN TGK. MUHAMMAD HASBI ASH-SHIDDIEQY

PADA tanggal 09 November 2007, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono telah menganugerahkan Bintang Maha Putra Utama kepada Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, yang selama hayatnya lebih lama berkarya di luar tanah kelahirannya. Catatan perjalanan hidup Almarhum di Aceh tidaklah berjalan mulus, banyak benar perlakuan yang diterimanya, yang mengindikasikan bahwa pemikirannya yang dikemukakan kepada masyarakat pada saat itu, telah melampaui daya nalar masyarakat.

Pengalaman hidup Almarhum di Aceh dimulai pada tahun 1925 dengan usahanya membuka Madrasah Al-Irsyad di kota Lhokseumawe, meniru model sekolah modern. Usahanya ini dituduh meniru model sekolah kafir, karena mencoba mengajar kepada murid-muridnya dengan duduk berbanjar di atas bangku dan menggunakan papan tulis tidak duduk melingkar di atas tikar. Alasan pengkafiran ini karena adalah satu pelanggaran, jika ada murid duduk di depan dan ada yang duduk di bangku belakang, sehingga saat giliran membaca Al-Qur’an bagi murid yang duduk di belakang ada yang membelakanginya. Sehingga Sekolah Al-Irsyad terpaksa ditutup karena tak ada murid yang mau mendaftar.

Kemudian Hasbi mencoba mendirikan Madrasah Al-Huda di Krueng Mane, yang terpaksa gulung tikar terkena Ordonansi Guru 1906 yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial Belanda.

Karena kegiatannya di Muhammadiyah, Hasbi dianggap orang yang tidak dikehendaki. Hasbi ditangkap pada Maret 1946 di Kantornya, Mahkamah Syariah di Kutaraja, dan masuk ke dalam target untuk dieksekusi bersama beberapa Uleebalang. Hasbi diangkut dengan kereta api dari Stasiun Kereta Api Kutaraja, menuju Sigli untuk kemudian dibawa ke Tangse. Sewaktu berada dalam gerbong kereta api Hasbi tak sanggup menoleh kearah keluarga, wajahnya sendu karena sudah tahu bakal nasib yang akan dialaminya.

Teungku Daud Tangse menolak melaksanakan eksekusi, karena Aceh akan kehilangan seorang ulama dan apabila Aceh tak lagi punya ulama yang pandai bagaimana nasib Aceh di kemudian hari. Hasbi dimasukkan ke dalam kamp tawanan di Lembah Burni Telong (Aceh Tengah). Jika di Rusia ada kamp di Siberia untuk menempatkan para lawan politik, maka Kamp Burni Telong adalah padanannya.

Kamp ini yang merupakan barak bagi para penderes getah, adalah bangunan tua, tak ada fasilitas apapun. Para tawanan tidur beralaskan tikar di atas papan, makanan berupa ransum dengan lauk ikan asin, dan jika ada pembagian telur asin, maka jatahnya adalah dalam seminggu sekali.

Pernah kami sekeluarga diizinkan menjenguk, dan apa yang terlihat sungguh sangat menyedihkan. Sampai kemudian Hasbi dimasukkan ke rumah sakit di Takengon, karena terserang penyakit paru-paru (1947). Sampai dibebaskan pada tahun 1948, tak ada proses peradilan dilaluinya. Hasbi tak pernah diinterogasi, tak pernah dibawa ke muka Pengadilan untuk diadili dan bebas karena ada desakan dari Pimpinan Muhammadiyah di Yogyakarta dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Selama menjalani masa tahanan di Burni Telong, dengan bermodalkan kitab Suci Al-Qur’an, Hasbi menyiapkan naskah Pedoman Shalat dan Pedoman Dzikir dan Do’a.

Dalam tahun 1951, sebelum berangkat ke Yogyakarta, Hasbi ditunjuk Pemerintah Pusat untuk menjadi salah seorang dari lima orang anggota Missi Haji Pertama ke tanah suci Mekkah, untuk merintis kerjasama dalam pelaksanaan ibadah haji. Missi ini diketuai oleh K.H.R. Adnan Ketua Mahkamah Syariah Islam Tinggi di Surakarta. Penunjukan yang sudah sempat diberitahukan kepada anggota keluarga, pada saat-saat akhir menjelang keberangkatan, namanya dicoret oleh Pemerintah Aceh dan digantikan oleh orang yang dekat dengan Penguasa saat itu.

Hasbi dan keluarga mendapat berkah sewaktu mendapat undangan dari Panitia Kongres Muslimin Indonesia (KMI) ke XV di Yogyakarta yang diselenggarakan pada tahun 1949. Di Yogyakarta dia diperkenalkan oleh H. Abu Bakar Aceh kepada Menteri Agama saat itu K. H Wahid Hasyim. Serta kepada K.H. Fathurrakhman Kafrawi yang menjadi Ketua Panitia Pendirian Sekolah Persiapan PTAIN.

Karena tawaran yang menantang ini serta perlakuan-perlakuan yang diterima di Aceh, dengan senang hati Hasbi pindah ke Yogyakarta. Hasbi diangkat menjadi dosen, padahal dia sama sekali tidak punya gelar ilmiah dari sebuah Perguruan Tinggi atau tamatan Perguruan Tinggi di Timur Tengah.

Di Yogya-lah Hasbi bisa mengembangkan diri. Dia menulis buku-buku yang sekarang menjadi buku unggulan. Tafsir An Nuur, Tafsir Al-Bayan, Koleksi Hadits-Hadits Hukum serta Mutiara Hadits disiapkan di Yogya di waktu luang sehabis mengajar. Dengan gaji yang kecil, Hasbi terpaksa mengajar di beberapa sekolah di samping di PTAIN (yang kemudian pada tahun 1960 berubah menjadi Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga).

Atas undangan Gubernur Aceh saat itu Prof. Ali Hasymi, pada tahun 1962, Hasbi diminta untuk membuka Fakultas Syariah di Darussalam Banda Aceh, yang merupakan embrio Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry. Hasbi hanya bisa bertahan 1 tahun tinggal di Darussalam, walaupun diberi rumah, mobil, dan tanah seluas 600 m2 di daerah Lingke (sekarang sudah dijadikan Asrama Haji karena Hasbi tak sempat mengurus balik nama tanah tersebut ke kantor Agraria). Hasbi kemudian kembali ke Yogyakarta. Salah satu sebabnya adalah pemikiran pembaruan yang dikemukakannya yang dianggap terlalu maju masih tidak bisa diterima oleh sebagian masyarakat yang berada di sekitar masjid Lamnyong, Darussalam, Banda Aceh. Dalam sebuah diskusi Hasbi mengatakan bahwa agama Islam harus dipelajari berdasarkan Science (Ilmu Pengetahuan). Oleh sebagian “teungku” yang tak terbiasa mendengar kata “science” dikatakan bahwa Hasbi ingin membangun Islam meniru model “sayyid” (para tuan-tuan atau orang Barat).

Almarhum mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dalam buku Biografi-nya, “Namaku Ibrahim Hasan”, mengatakan bahwa, jika dia tak disukai di Aceh adalah hal yang kecil, sebab Hasbi seorang ulama besar juga kurang disukai di tanah kelahirannya sendiri dan terpaksa hijrah keluar Aceh.

Dalam Simposium 100 Tahun Hasbi yang diselenggarakan oleh IAIN Ar-Raniry dan Dinas Kebudayaan Provinsi NAD, September 2003, yang dibahas oleh para Teungku bukan substansi pemikiran berdasarkan makalah yang dipresentasikan oleh beberapa Guru besar baik dari IAIN Bandung, Yogyakarta ataupun Medan, namun lebih terfokus mengenai kepindahan Hasbi ke Jawa, apa benar dia ada garis keturunan dengan Abu Bakar Ash-Shiddieq sehingga menambah gelar “Ash-Shiddieqy” di belakang namanya. Terlepas apakah dia pakai gelar Ash-Shiddieqy di belakang namanya, namun satu hal sebetulnya yang penting dibahas apa kontribusi Hasbi dalam pengembangan Ilmu Fiqh, peranan dalam memajukan pendidikan.

Kepakaran Hasbi cukup diakui oleh dunia Internasional. Bangsa ini boleh bangga, bahwa seorang tamatan dayah (pesantren), dan belum berpredikat Profesor (1957, dia diangkat sebagai Guru Besar IAIN pada tahun 1960). Universitas Punjab, Lahore, mengundang Hasbi untuk mempresentasikan makalah dengan judul: “The Attitude of Islam toward Knowledge”. Hasbi yang tak menguasai bahasa Inggris, namun makalah yang dibawanya dalam Bahasa Arab cukup fasih dan mendapat pujian dari pakar-pakar Islam yang hadir dalam Colloquium tersebut.

Pada bulan Desember 1975, Hasbi beserta istri mendapat undangan Pemerintah untuk dapat menunaikan ibadah haji. Namun undangan tersebut tak sempat dipenuhi, karena beberapa hari menjelang keberangkatan pada tanggal 9 Desember 1975 Hasbi berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Islam Jakarta.

Ada beberapa sikap Hasbi yang tercermin dalam perilaku keilmuannya:

a. Perjuangan memperkenalkan kebenaran kepada masyarakat harus dilakukan dengan sepenuh hati dan kegigihan yang luar biasa dan tidak takut terhadap segala rintangan karena niatnya semata-mata karena Allah swt.

b. Membuka diri terhadap perubahan serta mencari ilmu dan informasi dari berbagai sumber adalah satu keharusan untuk mendapatkan hakikat kebenaran.

c. Kita harus mendengar, menghargai, menggali secara mendalam pendapat para ulama terlebih dahulu sebelum mengungkapkan pendapat kita.

d. Kemauan menuntut ilmu dan kegigihan mendalami ilmu agama tidak terbatas pada bangku sekolah dan pendidikan formal.

Hasbi mengalami nasib yang sungguh berbeda setelah hijrah dari Aceh. Dari seorang yang tak berijazah S1, dan seorang yang berlajar huruf Latin secara sembunyi-sembunyi, nama Hasbi kini dikenal luas sampai ke mancanegara.

Menteri Agama R.I, H. Muhammad Maftuh Basuni, sangat menghargai apa yang dikerjakan Hasbi dan kontribusinya kepada dunia ilmu pengetahuan, sehingga lewat Departemen Agama R.I, Hasbi diusulkan untuk mendapat Gelar Bintang Maha Putra Utama, dan usul ini kemudian berwujud.

Ada beberapa thesis Doktor yang ditulis mengenai Hasbi, baik di Mc Gill University di Montreal, Canada, Universitas Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur, Universitas Al-Azhar, Cairo.

Kesan yang muncul sekarang, adalah penilaian terhadap Hasbi semata-mata karena sikap tidak senang dan tidak mau tahu. Tanpa mempelajari buku Hasbi, hanya berdasarkan “kata orang” muncul berbagai penilaian terhadap Hasbi, yang kadangkala mendekati fitnah, seperti Hasbi tidak pernah shalat Jum’at di masjid, dan selama 15 tahun di Yogyakarta, dia menganggap dirinya seorang musafir yang boleh mengqasharkan shalat lima waktu. Kedua hal yang terakhir sama sekali tidak benar.

Ada cerita lucu, bahwa pada suatu ketika ada orang menyodorkan sebuah buku tanpa kulit muka. Setelah buku itu dibaca, sambil mengangguk-angguk dia memuji tulisan pengarangnya dia memuji pendapat yang tertera dalam buku itu. Namun dia agak malu, ketika kulit buku dipasangkan kembali dan ternyata buku tersebut adalah karya Hasbi.

Penulisan mengenai perjalanan hidup Hasbi ini dimaksukan agar kita di Aceh bisa terbuka mata, bisa menghargai orang yang mengabdikan dirinya kepada dunia pengetahuan tanpa pamrih.

Apabila kita rajin membaca buku Hasbi, bisa dibaca bahwa dia tak pernah menyerang pribadi orang yang tidak sependapat, tidak pernah mengeluarkan kata-kata hujatan bahwa pendapat lawannya itu sesat menyesatkan. Kata-kata “sesat menyesatkan” sering dialamatkan kepadanya. Dan reaksi beliau adalah mengemukakan dalil baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah, mengapa dia berpendapat demikian.

Kalau kita ingin maju, baca buku yang banyak perbandingkan isinya, pilih mana yang benar menurut pendapat kita. Kalau kita tak mau membaca, menggantungkan pendapat kepada apa yang “kata orang”, kita akan dilanda badai reformasi pemikiran baru dan kita akan “ketinggalan kereta”. Jangan karena ingin meniru Nabi kita enggan berwudhu lewat keran air, dan tetap berwudhu dari air kolam.

Wabillahit taufiq wal hidayah.

H.Z. Fuad Hasbi *)

*) Penulis adalah putra Alamrhum dan kini menjabat Direktur Pusat Studi Islam dan Perpustakaan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy di Lhokseumawe.

DIALOG
BOLEHKAH LELAKI MUSLIM MEMAKAI PERHIASAN YANG TERBUAT DARI EMAS?

Tanya:

Dalam tayangan media beberapa waktu yang lalu, pernah dibahas masalah perhiasan emas bagi kaum laki-laki. Bolehkah laki-laki memakai perhiasan emas? (Sauqy bin Halim, Lhokseumawe)

Jawab:

Banyak hadits yang menunjukkan ke­haraman laki-laki memakai perhiasan emas, di antaranya riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Emas dan sutra dihalalkan bagi umatku yang perempuan dan diharamkan bagi umatku lelaki.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)

Menurut Hasbi, meskipun banyak hadits yang menyatakan demikian dari berbagai jalan (jalur periwayatan), namun semuanya itu tidak lepas dari kecacatan. Dengan merujuk keterangan sejarah yang lebih shahih, Hasbi menjelaskan bahwa sejumlah shabat, seperti Sa’ad ibn Abi Waqqash, Thahlah ibn Ubaidillah, Shuhaib, Huzaifah, dll., memakai cincin emas, karena me­mahami lararangan yang dikehendaki Nabi Saw. hanyalah larangan makruh.

Kesimpulan makruh ini, lebih lanjut dijelaskan oleh Hasbi:

Apabila kita perhatikan umum ayat-ayat Al-Qur’an, maka jelaslah menegaskan bahwa memakai emas dan perak halal hukumnya [baca QS. Al-A’raf: 31-33]. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa segala macam hiasan adalah halal. Di antara hiasan itu adalah emas dan perak.

Menurut kaidah ushul fiqh, tiap-tiap dalil yang bersifat umum tetaplah dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mentakhshishkan atau mengkhususkan­nya. Dalil yang dapat mentakhshishkan ayat Al-Qur’an harus sama derajatnya. Hadits-hadits yang mentakhshishkan keumuman ayat ini, yakni hadits yang melarang kita memakai emas, semuanya hadits ahad (hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang), bukan mutawatir. Karena itu tidak dapat dipakai untuk mengecualikan emas dari keumuman ayat yang memperbolehkan kita memakai perhiasan (ziinah).

Wallahu a’lam.

Keterangan selengkapnya dapat Anda baca dalam Koleksi Hadits-hadits Hukum, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 256. [h_ar]

HIKMAH

“Semua perkataan anak Adam tidak berguna baginya, kecuali untuk mengajak melakukan yang ma’ruf dan melarang perbuatan mungkar serta berdzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Tidak ada komentar: