Rabu, 16 April 2008

EDISI 6 - APRIL 2008

KEWAJIBAN MENUTUP AURAT

ISLAM sangat memperhatikan kemaslahatan umatnya. Sampai-sampai dalam hal berpakaian. Karena menutup aurat adalah perintah agama. Bagaimanakah tuntunan Islam bagi umatnya dalam menjaga auratnya?
Hasbi dalam bukunya Al-Islam, jilid 2 dengan panjang lebar mengupas tentang kewajiban menutup aurat.
Allah berfirman:
“Hai anak adam, telah kami turunkan kepadamu (jadikan untukmu) pakaian-pakaian yang menutup auratmu. Juga telah kami jadikan pakaian-pakaian yang menjadikan kamu indah. Akan tetapi (ketahuilah) bahwa pakaian takwa itu lebih baik dari segala pakaian kebendaan, yang demikian itu dari tanda kebesaran Allah. Tuhan menurunkan pakaian-pakaian itu untuk menjadi tanda kebesarannya, supaya (dengan demikian itu) kamu menjadi orang-orang yang memperoleh peringatan.” (QS. Al-A’raf [7]: 26)
Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Peliharalah (tutuplah) auratmu, kecuali terhadap istri dan budak-budak yang kamu miliki.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana ya Rasulullah jika hanya intern dalam suatu kaum?” Nabi menjawab: “Jika kamu masih sanggup menutupnya, janganlah sampai auratmu dilihat oleh seorang pun.” Salah seorang sahabat bertanya: “Bagaimana ya Rasulullah apabila kami dalam keadaan berkhalwat (bersendiri dalam kamar)?” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk dimalui daripada manusia.” (HR. Ahmad, al-Jami’ ash-Shaghir 1: 10)
Maksudnya kita seharusnya lebih malu kepada Allah daripada kepada manusia.
Menutup aurat adalah menutup bagian atau anggota tubuh yang dipandang buruk apabila terlihat seseorang atau membuat malu orang yang melihatnya. Sehingga yang dinamakan aurat adalah bagian anggota tubuh yang tidak layak dilihat oleh orang atau tidak layak terlihat dan nampak kepada orang lain.
Syariat memerintahkan umat untuk menutup aurat. Sebenarnya menutup aurat juga diperintahkan oleh norma kesopanan dan adab (tata krama). Sehingga semakin tinggi tingkat kesopanan atau peradaban seseorang, maka semakin malu hatinya apabila orang lain melihat tubuhnya yang seharusnya ditutupi, terutama bagian aurat.
Demikian pula apabila seseorang duduk di hadapan orang atau tamunya dengan berpakaian tidak pantas, maka menunjukkan rendah kesopanannya.
Syariat Islam menyuruh kaum Muslimin untuk berpakaian dengan baik, menarik, teratur dan rapi. Karena hal demikian sangatlah sesuai dengan norma-norma keislaman. Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda:
“Bahwasanya Allah itu Maha Indah, Dia menyukai keindahan.” (HR. at-Tirmidzi, al-Jami’ ash-Shaghir 1: 69)
Tampaknya hadits ini telah diabaikan oleh umat Islam. Mereka tidak merasa risih dalam keadaan kotor dan kumuh. Seandainya mereka menghayatai hadits ini, tentulah kita tidak menjumpai seorang Muslim yang kotor dan kumuh. Lebih lanjut, sebaiknya kita perhatikan hadits berikut:
“Perbaikilah rumah-rumah tempat kediamanmu demikian pakaian-pakaianmu, sehingga kamu menjadi di antara manusia seperti tahi lalat di wajah.” (HR. al-Hakim, al-Jami’ ash-Shaghir 1: 10)
Yakni, tampak indah dipandang. Dalam hadits lain, Nabi bersabda:
“Bahwasanya Allah apabila memberikan nikmat kepada hamba-Nya, Allah menyukai untuk melihat bekasan-bekasan nikmat itu pada hamba-Nya.” (HR. al-Baihaqy, Bulughul Maram: 106)
Hadits ini dengan tegas menyuruh atau membolehkan bagi kita yang memiliki harta, untuk mempergunakannya untuk kemewahan dan kesenangan, dalam rangka menunjukkan bekasan nikmat (salah satu bentuk syukur), namun dalam batasan yang wajar tidak berlebih-lebihan dan tidak ada maksud riya’. Apabila seseorang mampu untuk berpakaian dengan baik, mendiami rumah yang indah, adalah sesuai dengan kehendak Tuhan yang telah memberikan nikmat-Nya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang diberi kemampuan, namun dia berlaku pelit untuk diri dan keluarganya, sehingga dia tidak mempergunakan hartanya untuk kenikmatan hidupnya dan keluarganya—dalam batas-batas yang wajar—maka dia berarti tidak mempergunakan nikmat Allah sebagaimana yang telah Allah kehendaki.
Jadi, dalam hal ini kita diperintahkan untuk tidak berlaku berlebih-lebihan juga tidak terlaku bakhil. “Khairul umuri ausathuha, sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah/ sedang-sedang saja).” (al-Hadits)
Allah berfirman:
“Wahai anak-anak Adam ambillah (pakailah) hiasanmu di kala bersembahyang (pakaian-pakaian yang baik di kala hendak shalat) dan makan serta minumlah kamu dengan sewajarnya; janganlah berlebih-lebihan (jangan berlaku boros. Bahwasanya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlaku boros.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)
Mengenai ayat tersebut, dalam Tafsir An-Nuur, Hasbi menjelaskan: “Pakailah pakaian yang bagus ketika mengunjungi masjid atau menunaikan ibadah. Makan minumlah yang baik-baik dan jangan berlaku boros, tetapi senantiasa seimbang. Allah yang menjadikan semua nikmat, tetapi tidak menyukai perilaku boros atau berlebih-lebihan dalam semua tindakan.
Hasbi menukilkan sebuah hadits:
“Makanlah kamu, minumlah kamu, bersedekahlah kamu dan berpakaian kamu dengan cara yang tidak menunjukkan kesombongan dan ujub (keangkuhan) dan tidak boros. Sebab, Allah menyukai supaya Dia melihat pengaruh (bekasan) nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya.
Demikian semoga bermanfaat.
[]Hilya_ar

Sumber rujukan:
Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam-2, terbitan Pustaka Rizki Putra, Semarang.
Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid AN-NUUR, terbitan Pustaka Rizki Putra, Semarang.

DIALOG
"Bagaimanakah hukum perpakaian yang terlalu panjang sampai melebihi mata kaki (tumit)?"

Tanya:
Bagimanakah hukum berpakaian yang terlalu panjang (melebihi mata kaki? (Abdul Hadi, Lhokseumawe)

Jawab:
Ibnu Umar menerangkan bahwa Rasulullah bersabda: “Allah tidak melihat orang yang menarik kainnya untuk bermegah-megahan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada hadits lain, Abu Hurairah menerangkan bahwa Nabi bersabda: “Pada hari Kiamat, Allah tidak melihat kepada orang yang menyeret kain pinggangnya karena sombong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah menerangkan bahwa Allah tidak menyukai orang yang memanjangkan ujung pakaiannya melewati tumit, dan hal itu dilakukan karena dasar untuk kemegahan (menyombongkan) diri. Menurut An-Nawawy, kalau pakaian diturunkan sampai ke bawah tumit atas dasar takabbur, maka hukumnya haram, sedangkan kalau bukan, maka hukumnya makruh.
Adapun hadits yang mengatakan bahwa memanjangkan ujung pakaian sampai melewati tumit menyebabkan masuk neraka, ditujukan kepada orang yang berbuat demikian atas dasar untuk bermegah-megahan dan kesombongan.
Ringkasnya, dimakruhkan kita memakai lebih dari kadar keperluan yang telah biasa, baik dalam hal berpakaian atau dalam hal-hal lain. Para ulama telah membolehkan kaum perempuan merendahkan ujung bajunya kira-kira sehasta, sebagaimana Nabi telah memperbolehkan mereka.[hilya-ar]
Rujukan:
Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, jilid 6.

HIKMAH
“... Akan tetapi (ketahuilah) bahwa pakaian takwa itu lebih baik dari segala pakaian kebendaan, yang demikian itu dari tanda kebesaran Allah....” (QS. Al-A’raf [7]: 26)

Tidak ada komentar: