Rabu, 16 April 2008

EDISI 7- APRIL 2008

WANITA WAJIB MENYEMBUNYIKAN HIASAN DAN MEMAKAI JILBAB

ISLAM memerintahkan para wanita agar menyembunyikan hiasan-hiasan di badannya, bahkan menyembunyikan keindahan kain bajunya di kala pergi keluar rumah atau menghadapi seseorang yang bukan mahramnya.
Tuhan berfirman:
“Dan janganlah mereka para wanita menampakkan hiasan-hiasannya, (selain dari yang kelihatan dengan tidak disadari); dan hendaklah mereka menurunkan kain-kain kerudungnya atas leher dan dadanya; dan janganlah mereka menampakkan hiasan-hiasan tubuhnya, melainkan kepada para suami atau orang tua mereka atau orang tua suaminya, atau anak-anaknya; atau anak-anak suaminya, atau saudara-saudaranya; atau anak-anak saudaranya; atau anak-anak saudaranya lelaki, atau anak-anak saudaranya yang perempuan; atau wanita-wanitanya; atau orang-orang yang dimilikinya (budak); atau khadam-khadam (pembantu)nya yang tidak mempunyai nafsu, atau anak-anak yang belum mempunyai pengertian tentang nafsu, atau anak-anak yang belum mempunyai pengertian tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kaki ke tanah untuk menarik minat manusia kepada hiasan-hiasan (di kakinya).” (QS. An-Nur [24]: 31)
"Dan janganlah kamu (wahai para wanita) bertabarruj menampakkan hiasan-hiasanmu dan keindahan-keindahanmu (janganlah kamu berjalan di hadapan orang ramai dengan cara yang menarik memikat hati orang yang melihat) sebagai keadaan tabarruj jahiliyah". (QS. Al Ahzab [33]: 33)
Dengan tegas ayat-ayat ini melarang para perempuan memperlihatkan hiasan badannya dengan sengaja kepada orang yang bukan mahramnya. Termasuk dalam hiasan badan adalah kalung, gelang tangan, anting-anting dan pakaian-pakaian (kain baju yang indah) yang menutupi tubuhnya. Yang demikian dibolehkan jika tidak sengaja memperlihatkannya, umpamanya lantaran terkena angin yang berhembus, atau gerakan badan yang tidak disengaja.
Adapun cara menutup hiasan di kala keluar dan di kala berhadapan dengan yang bukan mahram, Tuhan mengajarkan:
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan wanita Islam semuanya, supaya mereka melekatkan ke badannya jilbab (kain besar menyelimutkan badan). Cara yang demikian lebih memudahkan mereka dikenal dan tidak diganggu. Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Pengasih." (QS. Al-Ahzab [33]: 59)
Ayat ini memerintahkan para wanita memakai jilbab. Walaupun pengertian jilbab berbagai rupa, namun dapat ditetapkan bahwa dikehendaki dengan jilbab itu, ialah kain besar (selendang besar) yang dapat menutupi seluruh tubuh, dipakai sesudah melekatkan baju dan kain untuk menutupkan keindahan hiasan-hiasan dan keindahan kain-kain yang dipakai.
Kaum wanita di permulaan Islam, bila keluar dari rumah, memakai baju dan kain serta kerudung. Semua wanita berlaku demikian. Tak ada perbedaan antara wanita merdeka dengan wanita budak. Lantaran demikian kerapkali lelaki nakal mengganggu wanita yang berjalan dengan alasan, bahwa mereka adalah wanita budak; bukan wanita terhormat. Maka untuk membedakan wanita yang terhormat, dari perempuan budak, Tuhan memerintahkan wanita merdeka apabila pergi keluar rumah, memakai jilbab. Dewasa ini samalah jilbab itu dengan baju panjang yang biasa dipakai orang dalam perjalanan, asal saja baju itu terlepas atau tidak mengandung unsur-unsur hiasan yang berlebih-lebihan pula.
Semangat hukum dari ayat ini ialah supaya para wanita menjauhkan diri dari segala yang menimbulkan prasangka buruk dan supaya menjauhkan diri dari perilaku genit dan sebagainya.
Cara berpakaian wanita Muslim haruslah mencerminkan perilaku yang menjunjung tinggi nilai dan etika pergaulan yang baik, tak ada kesan mengundang lawan jenis untuk berbuat mesum. Dan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah modernisasi dan perkembangan zaman.
Dengan demikian, memasang tirai atau sekat antara jamaah wanita dengan jamaah lelaki yang hadir dalam suatu majelis atau acara pertemuan, padahal kedua jamaah telah menutupi auratnya sebagai yang dikehendaki Islam, maka memasang tirai tersebut tidaklah disuruh oleh agama. Hal itu hanya didasarkan perasaan dan pertimbangan kita saja.
Batasan tentang Aurat Laki-laki dan Perempuan
Aurat lelaki yang tidak boleh tidak (harus) ditutupi; yang terlalu buruk jika dipandang, ialah: dua kemaluan, yaitu dubur dan qubul. Paha, tidak termasuk aurat yang wajib benar untuk ditutup. Hanya termasuk aurat yang tidak disukai apabila terbuka.
Aurat perempuan ialah seluruh tubuhnya, selain dari muka dan tangan dari ujung tangan hingga pergelangannya dan pergelangan dua kaki (menurut pendapat sebagian ulama).
Dalam hal ini perempuan merdeka dengan perempuan budak belian sama. Paham ulama yang membedakan aurat perempuan budak dengan aurat wanita merdeka, berlawanan dengan ketetapan syara' sendiri. Hanya dalam soal memakai jilbab untuk menyelimutkan badan saja ada perbedaan antara perempuan merdeka dengan perempuan budak, sebagai dijelaskan di awal.
Akan tetapi walaupun aurat yang diwajibkan benar-benar para lelaki menutupnya hanya sekedar dua kemaluan (dan tambah lagi dari pusat hingga lutut), bukanlah berarti bahwa selain dari itu dapat semaunya kita buka. Sudah dijelaskan bahwa semakin tinggi peradaban seseorang, semakinlah ia merasa perlu menutup segala bagian badannya yang tidak layak dipertontonkan.
hilya_ar[]

Sumber:
Al-Islam 2, Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, terbitan Pustaka Rizki Putra.

DIALOG
Hukum Berdzikir dengan Iringan Musik Modern

Tanya:
Bagaimanakah hukumnya berdzikir dan bershalawat dengan musik modern (misalnya dangdut, pop, dll.)? (Azhari, Kutablang, Lhokseumawe, NAD)

Jawab:
Masalah musik di kalangan umat Islam sampai saat ini masih diperdebatkan. Ada kelompok yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Dengan mengharap ridha Allah, kami mencoba menjelaskannya, dengan lebih mengedepankan saling kesepahaman daripada perselisihan.
Bagaimanapun juga, tidak ada kesepakatan pendapat tentang masalah ini di antara para fuqaha (ahli fiqh) terkemuka, baik di kalangan Sunni (Ahlus Sunnah) maupun Syi’ah. Tampaknya Tuhan tidak menghendaki kepastian hukum atas masalah ini (musik). Hal ini mengingat kegandaan sifat musik, baik sebagai sarana dzikir maupun sebagai sarana pemborosan dan hiburan. (Baca selengkapnya di buku Spiritualitas dan Seni Islam, karya Seyyed Hossein Nasr, Mizan, 1993, hlm. 168).
Seni, salah satu di antaranya musik hanyalah sekedar alat, jadi tergantung kita dalam menggunakannya. Musik bisa jadi hanya untuk sekedar hura-hura. Namun di sisi lain, musik dapat diarahkan kepada tujuan positif, seperti dalam dakwah atau salah satu cara pendekatan terhadap Allah SWT.
Banyak di antaranya sufi (ahli tasawuf) yang menjadikannya sebagai sarana pendekatan kepada Allah, dengan apa yang disebut musik spiritual. Sebagai contoh, Jalaluddin Rumi dengan tarian dzikirnya juga dengan alunan musik.
Jadi yang perlu ditegaskan, seandainya menjadikan musik sebagai alunan (iringan) dalam berdzikir, haruslah dipilih jenis musik yang dapat mengarahkan seseorang lebih khusyuk dalam dzikir (mengingat) kepada Allah.
Begitu pula dalam bershalawat, karena maksud bershalawat adalah berdoa kepada Allah agar memberikan rahmat keselamatan kepada Nabi Muhammad, maka perlu dilakukan dengan khusyuk pula. Wallahu a’lam. (hilya_ar)

HIKMAH

“... hendak­lah me­reka menurunkan kain-kain kerudungnya atas leher dan dadanya....” (QS. An-Nur [24]: 31)

Tidak ada komentar: