Rabu, 16 April 2008

EDISI 4 - MARET 2008

HANYA KEPADA ALLAH KITA MERASA TAKUT
Oleh: Sulaiman Al-Kumayi

Rasa takut adalah salah satu sifat manusiawi kita. Ada yang takut miskin, takut turun jabatan, takut gagal, takut bangkrut, dan ribuan takut lainnya yang pasti ada pada setiap kita. Namun dari sekian rasa takut itu, takut yang seharusnya ditumbuhkan dalam diri kita adalah takut kepada Allah. Karena takut kepada-Nya ini menyebabkan manusia selalu berusaha dalam setiap detik untuk tidak membuat Dia murka kepadanya, sehingga apapun yang dilakukannya senantiasa meminta pertimbangan-Nya. Yakni, ketika melakukan sesuatu yang masih menimbulkan teka-teki ia selalu mengkonsultasikannya kepada Allah, misalnya melalui shalat istikharah, seperti yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Beberapa ayat Al-Quran menekankan bahwa yang layak ditakuti hanyalah Allah, sebagaimana yang dapat kita baca dari firman Allah: “Maka janganlah kamu takut akan mereka, dan takutlah akan Daku, jika kamu orang-orang yang beriman (QS. Ali Imran [3]: 175); “Maka Allah itu lebih patut kamu takuti, jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. At-Taubah [9]: 13); “Maka janganlah kamu takut kepada manusia, dan takutlah akan Daku dan janganlah kamu membeli ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit” (QS. Al-Ma'idah [5]: 44); “Mengapakah kamu tidak berusaha untuk membesarkan dan menghormati Allah [yakni takut kepada-Nya]” (QS. Nuh [71]: 13); Bahwasanya orang yang beriman adalah mereka yang berhijrah dan yang berjuang (mujahadah) di jalan Allah, itulah mereka yang mengharap akan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah [2]: 218).
Juga sabda Nabi Muhammad Saw.: (1) Demi Tuhan yang diriku di tangan-Nya, sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, tentulah kamu banyak menangis dan sedikit ketawa (HR. Al-Bukhari); (2) Barangsiapa yang memuaskan hati orang yang berkuasa dengan memurkakan Tuhannya, keluarlah ia dari agama Allah (HR. Al-Hakim).
Berkaitan dengan takut kepada Allah ini, manusia terbagi dua kelompok. Kelompok pertama, takut kepada Allah. Yang masuk dalam kelompok ini adalah orang yang mempunyai jiwa yang sejahtera (sehat), itikad yang khalish bersih dan penglihatan mata hati yang jernih yang mampu menyelami rahasia-rahasia sifat Allah Yang Mahaesa dan Mahakuasa, yang karenanya terpampang kehebatan Allah di penglihatannya dan tumbuh rasa takut kepada Allah.
Kelompok kedua, takut akan azab Allah. Kelompok ini ditempati oleh semua manusia. Tiap-tiap manusia dapat memperoleh derajat ini apabila ia percaya akan adanya pembalasan di hari akhirat dan adanya surga dan neraka. Oleh karena itu hendaklah kita menumbuhkan rasa takut akan Allah dan rasa takut akan azab-Nya yang sangat pedih dan sangat keras, walaupun kita merasa bahwa kita tidak bersalah apa-apa.
Faktor yang terpenting untuk menghasilkan takut akan azab Allah ialah ilmu dan makrifat yang mempengaruhi jiwa. Ketakutan seperti inilah yang dialami oleh para sahabat dan tabi’in sehingga ada di antara mereka jatuh pingsan di kala mendengar ayat yang menakutkan (takhwif).
Abu Bakar, disebabkan rasa takut kepada Allah, berkata kepada seekor burung: "Alangkah bahagianya aku ini, sekiranya aku dijadikan sebagai engkau [burung], tidak sebagai seorang manusia."
Umar pernah jatuh rebah dan kemudian menderita sakit setelah mendengar ayat takhwif. Pada suatu hari, beliau mengambil sebutir biji kopi, lalu berkata, "Alangkah baiknya kalau aku dijadikan sebagai engkau; alangkah baiknya kalau aku belum dilahirkan oleh ibuku.”Mendengar keadaan Umar itu, Ibnu Abbas bertanya, "Mengapakah tuan setakut ini, bukankah tuan telah dijadikan khalifah, menguasai Negara Islam dan mengerjakan berbagai rupa kebajikan?" Umar menjawab, "Saya ingin bebas dari dunia dengan tidak ada perhitungan (hisab)."
Abu Dzar pernah berkata: "Saya lebih suka menjadi sebagai sepotong kayu saja."
Ali ibn Husain apabila telah berwudhu, mukanya tampak sangat pucat. Istrinya bertanya, "Mengapakah selalu saya lihat mukamu menjadi pucat setelah berwudhu?" Beliau menjawab, "Tahukah kamu di hadapan siapa saya akan berdiri ini?"
Pernah seorang bertanya kepada Hasan Al-Bashri, "Bagaimana kesehatan tuan pagi ini." Beliau menjawab, "Baik." Orang itu bertanya lagi, "Bagaimana keadaan tuan?"
Mendengar pertanyaan itu, Hasan Al-Bashri tersenyum, lalu berkata, "Engkau menanyakan keadaanku? Bagaimana pendapatmu tentang sekelompok orang yang berlayar di lautan lepas dengan sebuah kapal yang sampai di tengah lautan, kapal yang mereka tumpangi itu pecah, lalu masing-masing penumpangnya memegang sekeping papan?"
Orang itu menjawab, "Tentu saja mereka dalam keadaan sangat sukar dan genting."
Mendengar jawaban tersebut, Hasan pun berkata, "Keadaanku lebih sukar dan lebih genting daripada mereka."
Berdasarkan hal tersebut, tegas Hasbi, maka yang dikehendaki takut dalam konteks ini adalah "bukanlah takut kanak-kanak, yang hanya sebentar saja. Tetapi takut yang dapat menghalangi kita dari maksiat dan dapat meneguhkan kita selalu dalam taat. Juga bukan takut olok-olok yang apabila datang bencana, lalu berkaok-kaok: Rabbana sallimna min jami`il-bala [Wahai Tuhan kami, selamatkan kami daripada bala bencana. Mereka jalan berkeliling memburu setan padahal sebenarnya merekalah yang diburu setan." []
Sumber:
Prof. Dr. Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, Jil. I.
__________, Kuliah Ibadah (Semarang: Pustaka Rizki Putra).
__________, Tafsir An-Nur.

DIALOG
"Bolehkah menjual barang dengan harga ganda?"

Tanya:
Bolehkah sistem penjualan yang menetapkan dua harga. Misal, saya jual barang A dengan harga Rp. 10.000 apabila cash dan saya jual barang A dengan harga Rp. 15.000 jika tempo. Mohon penjelasan. (Abu Vina, Lhokseumawe)

Jawab:
Kebolehan sistem harga ganda ini masih diperdebatkan.
Dalam hadits Nabi disebutkan: Nabi bersabda, “Barangsiapa menjual dua penjualan dalam satu penjualan, maka baginya pembayaran yang kurang atau riba.” (HR. Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Simmak dari Abdullah bin Abdurrahman ibn Abdullah ibn Mas’ud: Nabi saw. melarang kita melakukan dua penjualan dalam satu penjualan. Simmak mengatakan, maksudnya dengan mengatakan “dengan harga tangguh sekian... dan bila kontan harganya sekian...”
Berdasarkan hadits-hadits di atas--secara zhahir--kita tidak dibenarkan menetapkan dua harga untuk satu jenis barang. Dalam Koleksi Hadits-hadits Hukum, disebutkan bahwa pada hadits pertama di atas dalam sanadnya (silsilah periwayatannya) terdapat Muhammad ibn Amr ibn Ali Alqamah yang diperdebatkan oleh sebagian ulama hadits. Sedangkan pada hadits kedua, menurut Al-Hafizh dalam kitab At-Talkhis, dinyatakan cacat. Jadi kedua hadits tersebut tidak dapat dijadikan dasar pelarangannya.
Menurut Asy-Syafi’i, diserahkan kepada pembelinya, jika setuju dengan syarat tersebut, maka penjualan itu sah.
Menurut Al-Khataby, tidak ada ulama yang berpegang pada zhahir hadits ini dan mensahkan harga yang paling murah. Namun, Zainal Abidin ibn Ali ibn Husain dan ulama ahlul bait lainnya, mengharamkan penjualan dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar jika pembayarannya tangguh.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa prinsip dasar dalam jual beli salah satunya adalah adanya kerelaan antara penjual dan pembeli. Jika pembeli setuju dengan sistem harga yang ditawarkan penjual, maka transaksi sah.
Syafi’iah, Hanbaliah dan Zaid ibn Ali serta jumhur ulama mensahkan sistem penjualan tersebut.
Sebagai kesimpulannya, dalam Koleksi Hadits-hadits Hukum, jika berpegang pada hadits pertama (HR. Abu Daud) jelas bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum (hujjah). Andaikata kita menganggap hadits ini shahih, juga tak dapat diterapkan karena penafsirannya masih diperdebatkan. Sehingga pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang lebih kuat.
Baca selengkapnya di Koleksi Hadits-hadits Hukum, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Jilid 7, Bab Jual-Beli. (hilya_ar)

HIKMAH
“Maka janganlah kamu takut kepada manusia, dan takutlah akan Daku dan jangan­lah kamu membeli ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 44)

Tidak ada komentar: