Rabu, 16 April 2008

EDISI 7- APRIL 2008

WANITA WAJIB MENYEMBUNYIKAN HIASAN DAN MEMAKAI JILBAB

ISLAM memerintahkan para wanita agar menyembunyikan hiasan-hiasan di badannya, bahkan menyembunyikan keindahan kain bajunya di kala pergi keluar rumah atau menghadapi seseorang yang bukan mahramnya.
Tuhan berfirman:
“Dan janganlah mereka para wanita menampakkan hiasan-hiasannya, (selain dari yang kelihatan dengan tidak disadari); dan hendaklah mereka menurunkan kain-kain kerudungnya atas leher dan dadanya; dan janganlah mereka menampakkan hiasan-hiasan tubuhnya, melainkan kepada para suami atau orang tua mereka atau orang tua suaminya, atau anak-anaknya; atau anak-anak suaminya, atau saudara-saudaranya; atau anak-anak saudaranya; atau anak-anak saudaranya lelaki, atau anak-anak saudaranya yang perempuan; atau wanita-wanitanya; atau orang-orang yang dimilikinya (budak); atau khadam-khadam (pembantu)nya yang tidak mempunyai nafsu, atau anak-anak yang belum mempunyai pengertian tentang nafsu, atau anak-anak yang belum mempunyai pengertian tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kaki ke tanah untuk menarik minat manusia kepada hiasan-hiasan (di kakinya).” (QS. An-Nur [24]: 31)
"Dan janganlah kamu (wahai para wanita) bertabarruj menampakkan hiasan-hiasanmu dan keindahan-keindahanmu (janganlah kamu berjalan di hadapan orang ramai dengan cara yang menarik memikat hati orang yang melihat) sebagai keadaan tabarruj jahiliyah". (QS. Al Ahzab [33]: 33)
Dengan tegas ayat-ayat ini melarang para perempuan memperlihatkan hiasan badannya dengan sengaja kepada orang yang bukan mahramnya. Termasuk dalam hiasan badan adalah kalung, gelang tangan, anting-anting dan pakaian-pakaian (kain baju yang indah) yang menutupi tubuhnya. Yang demikian dibolehkan jika tidak sengaja memperlihatkannya, umpamanya lantaran terkena angin yang berhembus, atau gerakan badan yang tidak disengaja.
Adapun cara menutup hiasan di kala keluar dan di kala berhadapan dengan yang bukan mahram, Tuhan mengajarkan:
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan wanita Islam semuanya, supaya mereka melekatkan ke badannya jilbab (kain besar menyelimutkan badan). Cara yang demikian lebih memudahkan mereka dikenal dan tidak diganggu. Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Pengasih." (QS. Al-Ahzab [33]: 59)
Ayat ini memerintahkan para wanita memakai jilbab. Walaupun pengertian jilbab berbagai rupa, namun dapat ditetapkan bahwa dikehendaki dengan jilbab itu, ialah kain besar (selendang besar) yang dapat menutupi seluruh tubuh, dipakai sesudah melekatkan baju dan kain untuk menutupkan keindahan hiasan-hiasan dan keindahan kain-kain yang dipakai.
Kaum wanita di permulaan Islam, bila keluar dari rumah, memakai baju dan kain serta kerudung. Semua wanita berlaku demikian. Tak ada perbedaan antara wanita merdeka dengan wanita budak. Lantaran demikian kerapkali lelaki nakal mengganggu wanita yang berjalan dengan alasan, bahwa mereka adalah wanita budak; bukan wanita terhormat. Maka untuk membedakan wanita yang terhormat, dari perempuan budak, Tuhan memerintahkan wanita merdeka apabila pergi keluar rumah, memakai jilbab. Dewasa ini samalah jilbab itu dengan baju panjang yang biasa dipakai orang dalam perjalanan, asal saja baju itu terlepas atau tidak mengandung unsur-unsur hiasan yang berlebih-lebihan pula.
Semangat hukum dari ayat ini ialah supaya para wanita menjauhkan diri dari segala yang menimbulkan prasangka buruk dan supaya menjauhkan diri dari perilaku genit dan sebagainya.
Cara berpakaian wanita Muslim haruslah mencerminkan perilaku yang menjunjung tinggi nilai dan etika pergaulan yang baik, tak ada kesan mengundang lawan jenis untuk berbuat mesum. Dan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah modernisasi dan perkembangan zaman.
Dengan demikian, memasang tirai atau sekat antara jamaah wanita dengan jamaah lelaki yang hadir dalam suatu majelis atau acara pertemuan, padahal kedua jamaah telah menutupi auratnya sebagai yang dikehendaki Islam, maka memasang tirai tersebut tidaklah disuruh oleh agama. Hal itu hanya didasarkan perasaan dan pertimbangan kita saja.
Batasan tentang Aurat Laki-laki dan Perempuan
Aurat lelaki yang tidak boleh tidak (harus) ditutupi; yang terlalu buruk jika dipandang, ialah: dua kemaluan, yaitu dubur dan qubul. Paha, tidak termasuk aurat yang wajib benar untuk ditutup. Hanya termasuk aurat yang tidak disukai apabila terbuka.
Aurat perempuan ialah seluruh tubuhnya, selain dari muka dan tangan dari ujung tangan hingga pergelangannya dan pergelangan dua kaki (menurut pendapat sebagian ulama).
Dalam hal ini perempuan merdeka dengan perempuan budak belian sama. Paham ulama yang membedakan aurat perempuan budak dengan aurat wanita merdeka, berlawanan dengan ketetapan syara' sendiri. Hanya dalam soal memakai jilbab untuk menyelimutkan badan saja ada perbedaan antara perempuan merdeka dengan perempuan budak, sebagai dijelaskan di awal.
Akan tetapi walaupun aurat yang diwajibkan benar-benar para lelaki menutupnya hanya sekedar dua kemaluan (dan tambah lagi dari pusat hingga lutut), bukanlah berarti bahwa selain dari itu dapat semaunya kita buka. Sudah dijelaskan bahwa semakin tinggi peradaban seseorang, semakinlah ia merasa perlu menutup segala bagian badannya yang tidak layak dipertontonkan.
hilya_ar[]

Sumber:
Al-Islam 2, Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, terbitan Pustaka Rizki Putra.

DIALOG
Hukum Berdzikir dengan Iringan Musik Modern

Tanya:
Bagaimanakah hukumnya berdzikir dan bershalawat dengan musik modern (misalnya dangdut, pop, dll.)? (Azhari, Kutablang, Lhokseumawe, NAD)

Jawab:
Masalah musik di kalangan umat Islam sampai saat ini masih diperdebatkan. Ada kelompok yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Dengan mengharap ridha Allah, kami mencoba menjelaskannya, dengan lebih mengedepankan saling kesepahaman daripada perselisihan.
Bagaimanapun juga, tidak ada kesepakatan pendapat tentang masalah ini di antara para fuqaha (ahli fiqh) terkemuka, baik di kalangan Sunni (Ahlus Sunnah) maupun Syi’ah. Tampaknya Tuhan tidak menghendaki kepastian hukum atas masalah ini (musik). Hal ini mengingat kegandaan sifat musik, baik sebagai sarana dzikir maupun sebagai sarana pemborosan dan hiburan. (Baca selengkapnya di buku Spiritualitas dan Seni Islam, karya Seyyed Hossein Nasr, Mizan, 1993, hlm. 168).
Seni, salah satu di antaranya musik hanyalah sekedar alat, jadi tergantung kita dalam menggunakannya. Musik bisa jadi hanya untuk sekedar hura-hura. Namun di sisi lain, musik dapat diarahkan kepada tujuan positif, seperti dalam dakwah atau salah satu cara pendekatan terhadap Allah SWT.
Banyak di antaranya sufi (ahli tasawuf) yang menjadikannya sebagai sarana pendekatan kepada Allah, dengan apa yang disebut musik spiritual. Sebagai contoh, Jalaluddin Rumi dengan tarian dzikirnya juga dengan alunan musik.
Jadi yang perlu ditegaskan, seandainya menjadikan musik sebagai alunan (iringan) dalam berdzikir, haruslah dipilih jenis musik yang dapat mengarahkan seseorang lebih khusyuk dalam dzikir (mengingat) kepada Allah.
Begitu pula dalam bershalawat, karena maksud bershalawat adalah berdoa kepada Allah agar memberikan rahmat keselamatan kepada Nabi Muhammad, maka perlu dilakukan dengan khusyuk pula. Wallahu a’lam. (hilya_ar)

HIKMAH

“... hendak­lah me­reka menurunkan kain-kain kerudungnya atas leher dan dadanya....” (QS. An-Nur [24]: 31)

EDISI 6 - APRIL 2008

KEWAJIBAN MENUTUP AURAT

ISLAM sangat memperhatikan kemaslahatan umatnya. Sampai-sampai dalam hal berpakaian. Karena menutup aurat adalah perintah agama. Bagaimanakah tuntunan Islam bagi umatnya dalam menjaga auratnya?
Hasbi dalam bukunya Al-Islam, jilid 2 dengan panjang lebar mengupas tentang kewajiban menutup aurat.
Allah berfirman:
“Hai anak adam, telah kami turunkan kepadamu (jadikan untukmu) pakaian-pakaian yang menutup auratmu. Juga telah kami jadikan pakaian-pakaian yang menjadikan kamu indah. Akan tetapi (ketahuilah) bahwa pakaian takwa itu lebih baik dari segala pakaian kebendaan, yang demikian itu dari tanda kebesaran Allah. Tuhan menurunkan pakaian-pakaian itu untuk menjadi tanda kebesarannya, supaya (dengan demikian itu) kamu menjadi orang-orang yang memperoleh peringatan.” (QS. Al-A’raf [7]: 26)
Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Peliharalah (tutuplah) auratmu, kecuali terhadap istri dan budak-budak yang kamu miliki.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana ya Rasulullah jika hanya intern dalam suatu kaum?” Nabi menjawab: “Jika kamu masih sanggup menutupnya, janganlah sampai auratmu dilihat oleh seorang pun.” Salah seorang sahabat bertanya: “Bagaimana ya Rasulullah apabila kami dalam keadaan berkhalwat (bersendiri dalam kamar)?” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk dimalui daripada manusia.” (HR. Ahmad, al-Jami’ ash-Shaghir 1: 10)
Maksudnya kita seharusnya lebih malu kepada Allah daripada kepada manusia.
Menutup aurat adalah menutup bagian atau anggota tubuh yang dipandang buruk apabila terlihat seseorang atau membuat malu orang yang melihatnya. Sehingga yang dinamakan aurat adalah bagian anggota tubuh yang tidak layak dilihat oleh orang atau tidak layak terlihat dan nampak kepada orang lain.
Syariat memerintahkan umat untuk menutup aurat. Sebenarnya menutup aurat juga diperintahkan oleh norma kesopanan dan adab (tata krama). Sehingga semakin tinggi tingkat kesopanan atau peradaban seseorang, maka semakin malu hatinya apabila orang lain melihat tubuhnya yang seharusnya ditutupi, terutama bagian aurat.
Demikian pula apabila seseorang duduk di hadapan orang atau tamunya dengan berpakaian tidak pantas, maka menunjukkan rendah kesopanannya.
Syariat Islam menyuruh kaum Muslimin untuk berpakaian dengan baik, menarik, teratur dan rapi. Karena hal demikian sangatlah sesuai dengan norma-norma keislaman. Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda:
“Bahwasanya Allah itu Maha Indah, Dia menyukai keindahan.” (HR. at-Tirmidzi, al-Jami’ ash-Shaghir 1: 69)
Tampaknya hadits ini telah diabaikan oleh umat Islam. Mereka tidak merasa risih dalam keadaan kotor dan kumuh. Seandainya mereka menghayatai hadits ini, tentulah kita tidak menjumpai seorang Muslim yang kotor dan kumuh. Lebih lanjut, sebaiknya kita perhatikan hadits berikut:
“Perbaikilah rumah-rumah tempat kediamanmu demikian pakaian-pakaianmu, sehingga kamu menjadi di antara manusia seperti tahi lalat di wajah.” (HR. al-Hakim, al-Jami’ ash-Shaghir 1: 10)
Yakni, tampak indah dipandang. Dalam hadits lain, Nabi bersabda:
“Bahwasanya Allah apabila memberikan nikmat kepada hamba-Nya, Allah menyukai untuk melihat bekasan-bekasan nikmat itu pada hamba-Nya.” (HR. al-Baihaqy, Bulughul Maram: 106)
Hadits ini dengan tegas menyuruh atau membolehkan bagi kita yang memiliki harta, untuk mempergunakannya untuk kemewahan dan kesenangan, dalam rangka menunjukkan bekasan nikmat (salah satu bentuk syukur), namun dalam batasan yang wajar tidak berlebih-lebihan dan tidak ada maksud riya’. Apabila seseorang mampu untuk berpakaian dengan baik, mendiami rumah yang indah, adalah sesuai dengan kehendak Tuhan yang telah memberikan nikmat-Nya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang diberi kemampuan, namun dia berlaku pelit untuk diri dan keluarganya, sehingga dia tidak mempergunakan hartanya untuk kenikmatan hidupnya dan keluarganya—dalam batas-batas yang wajar—maka dia berarti tidak mempergunakan nikmat Allah sebagaimana yang telah Allah kehendaki.
Jadi, dalam hal ini kita diperintahkan untuk tidak berlaku berlebih-lebihan juga tidak terlaku bakhil. “Khairul umuri ausathuha, sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah/ sedang-sedang saja).” (al-Hadits)
Allah berfirman:
“Wahai anak-anak Adam ambillah (pakailah) hiasanmu di kala bersembahyang (pakaian-pakaian yang baik di kala hendak shalat) dan makan serta minumlah kamu dengan sewajarnya; janganlah berlebih-lebihan (jangan berlaku boros. Bahwasanya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlaku boros.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)
Mengenai ayat tersebut, dalam Tafsir An-Nuur, Hasbi menjelaskan: “Pakailah pakaian yang bagus ketika mengunjungi masjid atau menunaikan ibadah. Makan minumlah yang baik-baik dan jangan berlaku boros, tetapi senantiasa seimbang. Allah yang menjadikan semua nikmat, tetapi tidak menyukai perilaku boros atau berlebih-lebihan dalam semua tindakan.
Hasbi menukilkan sebuah hadits:
“Makanlah kamu, minumlah kamu, bersedekahlah kamu dan berpakaian kamu dengan cara yang tidak menunjukkan kesombongan dan ujub (keangkuhan) dan tidak boros. Sebab, Allah menyukai supaya Dia melihat pengaruh (bekasan) nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya.
Demikian semoga bermanfaat.
[]Hilya_ar

Sumber rujukan:
Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam-2, terbitan Pustaka Rizki Putra, Semarang.
Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid AN-NUUR, terbitan Pustaka Rizki Putra, Semarang.

DIALOG
"Bagaimanakah hukum perpakaian yang terlalu panjang sampai melebihi mata kaki (tumit)?"

Tanya:
Bagimanakah hukum berpakaian yang terlalu panjang (melebihi mata kaki? (Abdul Hadi, Lhokseumawe)

Jawab:
Ibnu Umar menerangkan bahwa Rasulullah bersabda: “Allah tidak melihat orang yang menarik kainnya untuk bermegah-megahan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada hadits lain, Abu Hurairah menerangkan bahwa Nabi bersabda: “Pada hari Kiamat, Allah tidak melihat kepada orang yang menyeret kain pinggangnya karena sombong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah menerangkan bahwa Allah tidak menyukai orang yang memanjangkan ujung pakaiannya melewati tumit, dan hal itu dilakukan karena dasar untuk kemegahan (menyombongkan) diri. Menurut An-Nawawy, kalau pakaian diturunkan sampai ke bawah tumit atas dasar takabbur, maka hukumnya haram, sedangkan kalau bukan, maka hukumnya makruh.
Adapun hadits yang mengatakan bahwa memanjangkan ujung pakaian sampai melewati tumit menyebabkan masuk neraka, ditujukan kepada orang yang berbuat demikian atas dasar untuk bermegah-megahan dan kesombongan.
Ringkasnya, dimakruhkan kita memakai lebih dari kadar keperluan yang telah biasa, baik dalam hal berpakaian atau dalam hal-hal lain. Para ulama telah membolehkan kaum perempuan merendahkan ujung bajunya kira-kira sehasta, sebagaimana Nabi telah memperbolehkan mereka.[hilya-ar]
Rujukan:
Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, jilid 6.

HIKMAH
“... Akan tetapi (ketahuilah) bahwa pakaian takwa itu lebih baik dari segala pakaian kebendaan, yang demikian itu dari tanda kebesaran Allah....” (QS. Al-A’raf [7]: 26)

EDISI 5 - MARET 2008

NABI MUHAMMAD TELADAN SEJATI

NABI Muhammad adalah uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia, sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, dalam bukunya Tafsir An-Nuur, firman Allah ini menegaskan kepada kita tentang keharusan meneladani Rasulullah dalam segala gerak-geriknya. Beliau adalah contoh yang baik dalam segi keberanian, kesabaran dan tabah menghadapi bencana. Karena itu, mereka yang mengharap pahala Allah dan takut akan siksa-Nya serta banyak mengingat Allah, maka mereka dapat meneladani Rasulullah SAW. ini.
Para sahabat Nabi SAW. adalah orang-orang yang benar-benar menjadikan beliau sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik). Mereka belajar tentang kesabaran dari Rasulullah dalam menghadapi kesukaran khususnya dalam menghadapi musuh dan dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, ada di antara sahabat Nabi itu yang mendambakan ikut berperang bersama beliau dan rela mati demi menegakkan agama Allah yang dibawa beliau.
Ini dapat kita baca dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i dari Anas:
“Dalam peperangan Badar, pamanku tak dapat ikut serta. Ia merasa sangat kecewa. Dia berkata, ‘Aku tidak dapat ikut pertempuran yang dihadiri oleh Rasulullah. Sungguh, jika Allah memberiku kesempatan untuk ikut satu pertempuran sesudah ini, tentulah Allah akan melihat apa yang aku kerjakan.’ Pamanku dapat ikut persiapan perang Uhud. Di waktu ditanya, ‘Ke manakah tuan hendak pergi?’ Pamanku menjawab, ‘Saya mau ke surga, aku mencium baunya di gunung Uhud.’ Maka pamanku pun terus ke perang dan gugur. Pada tubuhnya terdapat 80 buah lubang tikaman.”
Masih banyak lagi teladan-teladan yang dapat kita contoh dari Rasulullah, seperti kasih sayang beliau kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Terhadap dua kelompok ini, beliau sangat menekankan sekali kepada umatnya untuk memperlakukan mereka dengan baik. Bagi mereka yang memelihara anak yatim, Rasulullah menjanjikan kepada mereka akan duduk berdampingan dengan beliau di dalam surga. Jaraknya sangat dekat, antara jari tengah dan telunjuk.
Di samping itu, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, Nabi Muhammad adalah sosok pemimpin yang sangat mengutamakan kepentingan agama, negara dan umat, Dalam naskahnya Mutiara Ilmu, Hasbi menuliskan:
“Hampir tidak ada waktu yang beliau gunakan untuk kepentingan diri dan keluarga. Seluruh hidupnya diberikan untuk kemaslahatan agama, negara dan umat,di samping ibadat pribadi kepada Allah SWT.
Apabila kita perhatikan dengan seksama dalam sejarah Rasul dari 9 tahun terakhir dari akhir hayatnya yang penuh dengan perjuangan....”
Karena begitu agungnya keteladanan Nabi Muhammad, hal ini sangat diakui tidak saja oleh umat Islam, juga oleh sebagian umat non-Muslim. Nabi Muhammad menempati tempat khusus di mata sejarawan dan ilmuwan terkemuka Barat. Sekedar menyebut contoh saja, Will Durant memberi gambaran tentang Nabi Muhammad dengan penghormatan sebagai berikut:
“Jika kita menilai keagungan lewat pengaruh, maka dia adalah salah seorang tokoh terbesar sejarah. Dia mengangkat tataran spiritual dan moral suatu kaum yang terdorong berbuat barbarisme karena kondisi gurun pasir panas yang tidak menyediakan makanan. Dan dia telah berhasil lebih sempurna daripada pembaru lain mana pun. Jarang ada orang yang dapat mewujudkan impiannya secara penuh… Ketika dia memulai, daerah Arab merupakan padang pasir yang di sana-sini berserakan suku-suku penyembah berhala. Ketika dia meninggal, Arab merupakan sebuah bangsa--beragama--.”
Michael H. Hart, menempatkan Nabi Muhammad pada urutan pertama dari seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Pilihan ini memang mengejutkan terutama bagi masyarakat Barat sendiri. Namun, dengan sangat tegas Hart memberikan alasannya:
“Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.”
Nabi Muhammad memang layak menjadi teladan bagi kita dalam multidimensi. Dalam buku-buku Sirah (sejarah) Muhammad, kita dapat melihat keagungan pribadi beliau. Dalam bidang politik, beliau adalah seorang kepala negara dan pemimpin angkatan perang yang terbaik. Dalam dunia bisnis, beliau juga seorang pengusaha/pedagang terbaik yang akhirnya diserahi untuk mengelola bisnis milik Khadijah. Beliau juga seorang suami dan bapak terbaik, pendidik terbaik, serta banyak lagi penggambaran positif lainnya.
Semoga ketika dapat meneladani uswah Nabi Muhammad SAW. dengan meneladani perilakunya, menjalankan segala Sunnahnya dalam segala aspek kehidupan kita.
Sebagai penutup, saya kutipkan sebuah syair yang menggambarkan keagungan sosok Muhammad sebagai “mentari kebenaran” sebagaimana dikatakan penyair Turki, Sayazi, :
Dikau mentari kebenaran, di hadapannya seluruh dunia hanyalah setitik debu,
Keberadaanmu motif bagi ruang dan waktu, Duhai utusan Allah!
Mereka yang mereguk piala cintamu, tak peduli dengan air kehidupan Khidhr—
Karena cintamu adalah kehidupan abadi, Duhai utusan Allah!
[diedit oleh: hilya_ar]

DIALOG
Bagaimanakah hukum transfusi darah?

Tanya:
“Dalam tayangan media beberapa waktu lalu diangkat tema apakah transfusi darah diperbolehkan apa tidak. Bagaimana pandangan Hasbi tentang hal ini?” (Abdullah, Lhokseumawe)
Jawab:
Berkaitan dengan trasfusi darah, Hasbi menemukan tiga kelompok: [1] tidak membenarkan dan tidak membolehkan transfusi darah secara mutlak, [2] membenarkan dan membolehkan karena darurat, [3] membolehkan, meskipun ada—faktor—yang mengimbanginya.
Dalam menghadapi persoalan ini, Hasbi meninjaunya dari sisi syariat dan kedokteran. Berdasarkan pengkajian yang mendalam berdasar Al-Qur’an dan Hadits, serta pendapat dari berbagai pendapat Imam Mazhab, Hasbi sampai pada kesimpulan:
“Blood tranfusion (transfusi darah) itu yang dilakukan oleh para dokter yang asli (ahli), sesuai dengan aturan-aturan dan syarat-syarat ilmu kedokteran modern, boleh atau halal, tidak haram.” (Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Ilmu, “Pemindahan Darah Dipandang dari Sudut Agama Islam,” dalam Inilah Islam, Telaah terhadap Pemikiran Hasbi..., Sulaiman al-Kumayi)
Jadi menurut kami, transfusi darah hukumnya boleh apabila telah memenuhi syarat-syarat kesehatan. Misal, darah harus benar-benar streril dari berbagai virus atau bibit penyakit. Jangan sampai transfusi darah—yang bertujuan untuk tujuan kesehatan bagi orang yang membutuhkan atau bagi si pendonor—justru menjadi media penyebaran penyakit seperti Hepatitis atau bahkan HIV/AIDS.
Begitu pula donor (transfusi) darah yang seharusnya untuk tujuan kemanusiaan jangan sampai disalahgunakan oleh oknum tertentu untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga ada anggota keluarga orang yang tertimpa kecelakaan atau sakit berat terpaksa harus mengeluarkan uang yang cukup besar kepada para “calo darah” untuk sekantong darah demi menyelamatkan jiwa saudaranya. Seharusnya hal ini tidak terjadi. (hilya_ar)

HIKMAH

“Katakan: ‘jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31)
“Barangsiapa membenci Sunnah-ku, maka ia bukan termasuk golongan (umat)-ku.” (Al-Hadits)

EDISI 4 - MARET 2008

HANYA KEPADA ALLAH KITA MERASA TAKUT
Oleh: Sulaiman Al-Kumayi

Rasa takut adalah salah satu sifat manusiawi kita. Ada yang takut miskin, takut turun jabatan, takut gagal, takut bangkrut, dan ribuan takut lainnya yang pasti ada pada setiap kita. Namun dari sekian rasa takut itu, takut yang seharusnya ditumbuhkan dalam diri kita adalah takut kepada Allah. Karena takut kepada-Nya ini menyebabkan manusia selalu berusaha dalam setiap detik untuk tidak membuat Dia murka kepadanya, sehingga apapun yang dilakukannya senantiasa meminta pertimbangan-Nya. Yakni, ketika melakukan sesuatu yang masih menimbulkan teka-teki ia selalu mengkonsultasikannya kepada Allah, misalnya melalui shalat istikharah, seperti yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Beberapa ayat Al-Quran menekankan bahwa yang layak ditakuti hanyalah Allah, sebagaimana yang dapat kita baca dari firman Allah: “Maka janganlah kamu takut akan mereka, dan takutlah akan Daku, jika kamu orang-orang yang beriman (QS. Ali Imran [3]: 175); “Maka Allah itu lebih patut kamu takuti, jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. At-Taubah [9]: 13); “Maka janganlah kamu takut kepada manusia, dan takutlah akan Daku dan janganlah kamu membeli ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit” (QS. Al-Ma'idah [5]: 44); “Mengapakah kamu tidak berusaha untuk membesarkan dan menghormati Allah [yakni takut kepada-Nya]” (QS. Nuh [71]: 13); Bahwasanya orang yang beriman adalah mereka yang berhijrah dan yang berjuang (mujahadah) di jalan Allah, itulah mereka yang mengharap akan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah [2]: 218).
Juga sabda Nabi Muhammad Saw.: (1) Demi Tuhan yang diriku di tangan-Nya, sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, tentulah kamu banyak menangis dan sedikit ketawa (HR. Al-Bukhari); (2) Barangsiapa yang memuaskan hati orang yang berkuasa dengan memurkakan Tuhannya, keluarlah ia dari agama Allah (HR. Al-Hakim).
Berkaitan dengan takut kepada Allah ini, manusia terbagi dua kelompok. Kelompok pertama, takut kepada Allah. Yang masuk dalam kelompok ini adalah orang yang mempunyai jiwa yang sejahtera (sehat), itikad yang khalish bersih dan penglihatan mata hati yang jernih yang mampu menyelami rahasia-rahasia sifat Allah Yang Mahaesa dan Mahakuasa, yang karenanya terpampang kehebatan Allah di penglihatannya dan tumbuh rasa takut kepada Allah.
Kelompok kedua, takut akan azab Allah. Kelompok ini ditempati oleh semua manusia. Tiap-tiap manusia dapat memperoleh derajat ini apabila ia percaya akan adanya pembalasan di hari akhirat dan adanya surga dan neraka. Oleh karena itu hendaklah kita menumbuhkan rasa takut akan Allah dan rasa takut akan azab-Nya yang sangat pedih dan sangat keras, walaupun kita merasa bahwa kita tidak bersalah apa-apa.
Faktor yang terpenting untuk menghasilkan takut akan azab Allah ialah ilmu dan makrifat yang mempengaruhi jiwa. Ketakutan seperti inilah yang dialami oleh para sahabat dan tabi’in sehingga ada di antara mereka jatuh pingsan di kala mendengar ayat yang menakutkan (takhwif).
Abu Bakar, disebabkan rasa takut kepada Allah, berkata kepada seekor burung: "Alangkah bahagianya aku ini, sekiranya aku dijadikan sebagai engkau [burung], tidak sebagai seorang manusia."
Umar pernah jatuh rebah dan kemudian menderita sakit setelah mendengar ayat takhwif. Pada suatu hari, beliau mengambil sebutir biji kopi, lalu berkata, "Alangkah baiknya kalau aku dijadikan sebagai engkau; alangkah baiknya kalau aku belum dilahirkan oleh ibuku.”Mendengar keadaan Umar itu, Ibnu Abbas bertanya, "Mengapakah tuan setakut ini, bukankah tuan telah dijadikan khalifah, menguasai Negara Islam dan mengerjakan berbagai rupa kebajikan?" Umar menjawab, "Saya ingin bebas dari dunia dengan tidak ada perhitungan (hisab)."
Abu Dzar pernah berkata: "Saya lebih suka menjadi sebagai sepotong kayu saja."
Ali ibn Husain apabila telah berwudhu, mukanya tampak sangat pucat. Istrinya bertanya, "Mengapakah selalu saya lihat mukamu menjadi pucat setelah berwudhu?" Beliau menjawab, "Tahukah kamu di hadapan siapa saya akan berdiri ini?"
Pernah seorang bertanya kepada Hasan Al-Bashri, "Bagaimana kesehatan tuan pagi ini." Beliau menjawab, "Baik." Orang itu bertanya lagi, "Bagaimana keadaan tuan?"
Mendengar pertanyaan itu, Hasan Al-Bashri tersenyum, lalu berkata, "Engkau menanyakan keadaanku? Bagaimana pendapatmu tentang sekelompok orang yang berlayar di lautan lepas dengan sebuah kapal yang sampai di tengah lautan, kapal yang mereka tumpangi itu pecah, lalu masing-masing penumpangnya memegang sekeping papan?"
Orang itu menjawab, "Tentu saja mereka dalam keadaan sangat sukar dan genting."
Mendengar jawaban tersebut, Hasan pun berkata, "Keadaanku lebih sukar dan lebih genting daripada mereka."
Berdasarkan hal tersebut, tegas Hasbi, maka yang dikehendaki takut dalam konteks ini adalah "bukanlah takut kanak-kanak, yang hanya sebentar saja. Tetapi takut yang dapat menghalangi kita dari maksiat dan dapat meneguhkan kita selalu dalam taat. Juga bukan takut olok-olok yang apabila datang bencana, lalu berkaok-kaok: Rabbana sallimna min jami`il-bala [Wahai Tuhan kami, selamatkan kami daripada bala bencana. Mereka jalan berkeliling memburu setan padahal sebenarnya merekalah yang diburu setan." []
Sumber:
Prof. Dr. Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, Jil. I.
__________, Kuliah Ibadah (Semarang: Pustaka Rizki Putra).
__________, Tafsir An-Nur.

DIALOG
"Bolehkah menjual barang dengan harga ganda?"

Tanya:
Bolehkah sistem penjualan yang menetapkan dua harga. Misal, saya jual barang A dengan harga Rp. 10.000 apabila cash dan saya jual barang A dengan harga Rp. 15.000 jika tempo. Mohon penjelasan. (Abu Vina, Lhokseumawe)

Jawab:
Kebolehan sistem harga ganda ini masih diperdebatkan.
Dalam hadits Nabi disebutkan: Nabi bersabda, “Barangsiapa menjual dua penjualan dalam satu penjualan, maka baginya pembayaran yang kurang atau riba.” (HR. Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Simmak dari Abdullah bin Abdurrahman ibn Abdullah ibn Mas’ud: Nabi saw. melarang kita melakukan dua penjualan dalam satu penjualan. Simmak mengatakan, maksudnya dengan mengatakan “dengan harga tangguh sekian... dan bila kontan harganya sekian...”
Berdasarkan hadits-hadits di atas--secara zhahir--kita tidak dibenarkan menetapkan dua harga untuk satu jenis barang. Dalam Koleksi Hadits-hadits Hukum, disebutkan bahwa pada hadits pertama di atas dalam sanadnya (silsilah periwayatannya) terdapat Muhammad ibn Amr ibn Ali Alqamah yang diperdebatkan oleh sebagian ulama hadits. Sedangkan pada hadits kedua, menurut Al-Hafizh dalam kitab At-Talkhis, dinyatakan cacat. Jadi kedua hadits tersebut tidak dapat dijadikan dasar pelarangannya.
Menurut Asy-Syafi’i, diserahkan kepada pembelinya, jika setuju dengan syarat tersebut, maka penjualan itu sah.
Menurut Al-Khataby, tidak ada ulama yang berpegang pada zhahir hadits ini dan mensahkan harga yang paling murah. Namun, Zainal Abidin ibn Ali ibn Husain dan ulama ahlul bait lainnya, mengharamkan penjualan dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar jika pembayarannya tangguh.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa prinsip dasar dalam jual beli salah satunya adalah adanya kerelaan antara penjual dan pembeli. Jika pembeli setuju dengan sistem harga yang ditawarkan penjual, maka transaksi sah.
Syafi’iah, Hanbaliah dan Zaid ibn Ali serta jumhur ulama mensahkan sistem penjualan tersebut.
Sebagai kesimpulannya, dalam Koleksi Hadits-hadits Hukum, jika berpegang pada hadits pertama (HR. Abu Daud) jelas bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum (hujjah). Andaikata kita menganggap hadits ini shahih, juga tak dapat diterapkan karena penafsirannya masih diperdebatkan. Sehingga pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang lebih kuat.
Baca selengkapnya di Koleksi Hadits-hadits Hukum, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Jilid 7, Bab Jual-Beli. (hilya_ar)

HIKMAH
“Maka janganlah kamu takut kepada manusia, dan takutlah akan Daku dan jangan­lah kamu membeli ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 44)

EDISI 3 - FEBRUARI 2008

MIMBAR:

BERHARAP HANYA KEPADA ALLAH
Oleh: Sulaiman Al-Kumayi

Salah satu pesan penting dalam Al-Quran adalah larangan berputus asa ketika berada dalam kondisi yang sangat kritis sekalipun. Manusia seringkali mudah patah arang, kehilangan gairah hidup saat musibah datang bertub-tubi. Hilang satu musibah disusul musibah lainnya, sehingga sebagai manusia biasa yang menganggap hidup ini sebagai arena penderitaan belaka. Lalu, ada yang mengambil jalan pintas: bunuh diri. Jalan ini dianggap sebagai satu-satunya yang dapat mengakhiri segala penderitaan. Padahal, bunuh diri adalah cara yang paling dibenci dan dimurkai oleh Allah SWT. serta dimasukkan ke dalam Neraka Jahanam dan dihukum sesuai dengan alat yang dipakai bunuh diri.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.: Rasulullah SAW. bersabda, “Barangsiapa membunuh dirinya dengan benda tajam, tangannya akan tetap memegang benda tajam itu, lalu dia akan menancapkannya sendiri ke dalam perutnya di dalam api Neraka Jahanam dan dia kekal di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan meminum racun, dia tetap meminumnya di dalam Neraka Jahanam serta kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan menjatuhkan dirinya kelak di Neraka Jahanam dan kekal di dalamnya selama-lamanya.” (HR. Muslim)
Berkenaan dengan inilah, Allah memerintahkan kita untuk selalu berharap kepada rahmat-Nya, seperti firman-Nya, "Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang; Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi); Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya; supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah ); atau supaya jangan ada yang berkata: 'Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa; Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab 'Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang berbuat baik" (QS. Az-Zumar [39]: 53-58); "Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir" (QS. Yusuf [12]: 87).
Berdasarkan firman Allah di atas, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa hendaknya sebagai hamba Allah yang lemah ini kita mempunyai pengharapan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan dan tidak sekali-kali berputus asa. Karena itu, janganlah kita sama berputus asa lantaran takut kepada-Nya, tetapi jangan pula meyakini dan memastikan diri akan terlepas serta merta dari azab-Nya yang sangat pedih lantaran pengharapan kita itu. Kita sama sekali tidak mengetahui apa dan bagaimana akibat kesudahannya. Manusia senantiasa berubah-ubah. Selalu dipengaruhi oleh berbagai macam pikiran yang silih berganti dan senantiasa diombang-ambingkan oleh gangguan-gangguan setan. Dalam kondisi seperti ini seringkali setan membisikkan rasa was-was dan putus asa kepada manusia. Untuk mengatasinya hendaknya kita segera ingat akan janji-janji Allah yang selalu memberi pengharapan kepada hamba-hamba-Nya dan tidak boleh berputus asa akan rahmat-Nya.
Allah tergantung pada prasangka hamba-Nya kepada-Nya. Sabda Nabi SAW.: Allah `Azza wa Jalla befirman, "Aku sesuai (menuruti) dugaan hamba-Ku dan Aku ada besertanya di mana saja ia mengingat akan Aku" (HR. Bukhari). Jadi, jika seorang hamba berprasangka baik kepada Allah, maka ia akan memperoleh kebaikan-kebaikan dari-Nya. Sebaliknya, jika ia hanya berprasangka negatif kepada-Nya, maka ia hanya akan hidup dalam ketidakpastian disebabkan hilangnya pegangan dengan-Nya.
Dalam riwayat lain diterangkan: Rasulullah SAW. pada suatu hari mengunjungi seorang pemuda pada saat pemuda itu dalam sekarat. Beliau bertanya kepada, "Bagaimana engkau merasakan keadaanmu?" Pemuda itu menjawab, "Ya Rasulullah, saya sangat berharap kepada Allah dan saya sangat takut terhadap dosa-dosaku." Mendengar itu beliau bersabda, "Tidak berkumpul harap dan takut dalam jiwa seorang hamba di saatnya yang terakhir, melainkan Allah memberikan apa yang ia harapkan dari-Nya dan mengamankannya dari apa yang ia takutkan." (HR. Tirmidzi)
Orang-orang yang beriman itu tidak boleh putus asa, tidak boleh kehilangan harapan dari rahmat Allah dan keutamaan-Nya. Bagi mereka, Allah itu Mahakuasa dan Mahaluas rahmat-Nya, sehingga harapan selalu muncul dalam dirinya. Ini merupakan penawar (obat) yang menghidupkan rasa harap kepada Allah. Lebih jauh Hasbi mengatakan: “Manusia yang dipengaruhi oleh putus asa karena telah banyak berbuat dosa yang merasa tidak ada harapan lagi akan ampunan Allah dan karenanya ia pun meninggalkan kesempatan yang masih ada untuk memperoleh ampunan, perlu kepadanya diberi penawar (obat) rasa harap. Dihidupkan di dalam jiwanya rasa harap dan jangan dibiarkan berputus asa. Demikian juga manusia yang terlalu takut yang lantaran takutnya keterlaluan memusatkan segala tenaganya untuk ibadat saja. Karena itu terbengkalailah segala kemaslahatannya yang lain.”
Sikap yang sangat baik dan utama, menurut Hasbi, adalah berdiri di antara takut dan harap akan Allah serta meyakini bahwa sekecil apa pun amal kebaikan, ia akan mendapatkan balasannya. Sebaliknya, sekecil apa pun keburukannya, ia akan memperoleh balasannya. Di samping itu, ia harus yakin akan janji Allah kepada orang-orang yang bertakwa, yang pasti memenuhi dan menepatinya. []
Sumber:
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir An-Nur dan Al-Islam.

DIALOG
“Menjual barang dagangan oplosan, bolehkah...?”

Tanya:

Bagaimana hukumnya penjualan yang mengandung unsur penipuan? (Abu Rahmah, Lhokseumawe)

Jawab:
Bagaimanapun bentuknya, jual beli yang mengandung unsur penipuan terhadap pembeli/ konsumen jelas dilarang oleh Islam.
Banyak kita lihat atau dengar di berbagai media massa tentang banyaknya kasus penipuan dalam penjualan. Seperti pengoplosan bahan bakar, pengoplosan beras, pengurangan timbangan, penggunaan bahan pengawet dan pewarna makanan yang berbahaya bagi tubuh manusia, dan kasus-kasus lain yang merugikan masyarakat. Dan yang mengherankan lagi, ada pihak yang akan melegalkan pengoplosan beras.
Banyak hadits-hadits Nabi SAW. yang melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan, di antaranya:
“Bahwasanya Nabi SAW. melarang kita menjual sesuatu benda yang ditimpa batu (sengaja ditimpakan) dan penjualan yang mengandung unsur penipuan terhadap pembeli.” (HR. Al-Jama’ah dan Al-Bukhari II: 317)
“Bahwasanya Rasulullah berjalan melewati seorang penjual bahan makanan (gandum). Nabi memasukkan tangannya ke dalam tumpukan gandum, ternyata gandum itu dalam keadaan basah. Karena itu Nabi bersabda: Barangsiapa menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR. Al-Jama’ah, Al-Muntaqa II: 350)
Dari hadits Nabi tersebut, maka jelaslah bahwa menyembunyikan cacat suatu barang dagangan saja kita dilarang, apalagi mengoplos bahan makanan atau bahan bakar. Hal itu sangat merugikan konsumen.
Begitu pula mencampur bahan berbahaya ke dalam bahan makanan, hal itu dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan orang lain. Dalam hadits disebutkan:
“Jangan memberikan mudharat dan jangan dimudharatkan.” (HR. Ibnu Majah & Ad-Daruquthny)
Jadi Islam mengharamkan menimbulkan kemudharatan bagi orang lain, baik banyak atau sedikit. Keterangan selengkapnya dapat Anda baca dalam Koleksi Hadits-hadits Hukum, jilid 7, Bab Jual-Beli, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. [hilya-ar]

HIKMAH
“... jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf [12]: 87)

Jumat, 08 Februari 2008

EDISI 2 -JANUARI 2008

DUNIA LADANG BERAMAL SHALIH
Sulaiman Al-Kumayi
SEORANG sahabat Nabi Saw., Ibnu Umar menuturkan bahwa suatu ketika Nabi memegang pundaknya dan bersabda:
Jadilah kamu di dunia seolah-olah asing atau orang yang melewati jalan; Ibnu Umar berkata, "Apabila kamu telah masuk di waktu sore (maka gunakanlah dengan baik) dan jangan menanti waktu pagi. Apabila kamu memasuki waktu pagi maka janganlah menanti waktu sore. Dan ambillah kesempatan di waktu sehatmu untuk bekal di waktu sakitmu dan dari hidupmu untuk matimu." (HR. Al-Bukhari).
Mengapa kita disuruh seolah gharîb (orang asing) atau `âbir sabîl (orang yang melewati jalan)? Apakah ini berarti kita tidak perlu bersibuk ria di dunia ini? Hanya mengkhususkan hari-hari kita dengan memutar biji tasbih di masjid dan melupakan kewajiban hidup sehari-hari, melupakan kewajiban terhadap istri dan pendidikan anak dan sebagainya? Tentu saja bukan itu yang dikehendaki oleh Nabi. Yang dikehendaki beliau adalah agar kita tidak dimabuk kepayang oleh hal-hal duniawi, yang seringkali menyeret orang melupakan akhirat. Padahal, kehidupan yang sejati itu adalah kehidupan di akhirat. Kehidupan yang digambarkan oleh Allah sendiri sebagai "lebih baik dan lebih kekal" (QS. Al-A`la [87]: 17); juga "lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya" (QS. Al-Isra’ [17]: 21). Karena itu,—sebagai wujud kasih sayang-Nya kepada umat Muslim—Allah pun menegaskan lagi: "Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit." (QS. At-Taubah [9]: 38)
Nah, jika tidak juga peduli dengan seruan ini, Allah akan bertanya: "Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?" (QS. Al-Taubah [9]: 38). Maksudnya, "Apakah kamu merelakan hidup di dunia dan kelezatannya yang pasti lenyap sebagai ganti dari kebahagiaan akhirat yang sempurna lagi abadi? Jika kamu berlaku demikian, berartilah kamu menukar yang baik dengan yang buruk." (Hasbi, Tafsir An-Nuur, II: 1607).
Tentu saja, ini tidak berarti kita menafikan sedemikian rupa kehidupan dunia ini dan berasyik masyuk dengan kehidupan akhirat. Yang benar adalah keseimbangan. Kita sibuk dengan urusan duniawi semata-mata untuk kepentingan akhirat kita. Allah berfirman: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash [28]: 77)
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, firman Allah dalam QS. Al-Qashash [28]: 77 ini menegaskan bahwa kita tidak boleh menjauhkan diri dari kesenangan dunia, baik yang mengenai makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, karena kita mempunyai beberapa kewajiban terhadap diri sendiri dan terhadap keluarga kita. Dengan kata lain, firman Allah ini merupakan jalan tengah bagi kita dalam menempuh hidup di dunia ini. Kita beramal untuk dunia seakan-akan kita akan hidup sepanjang abad dan beramal untuk akhirat seakan-akan kita akan mati besok. Agama tidak menghendaki kita menghindari segala kelezatan dunia dan hidup atas bantuan orang lain. Tetapi agama menghendaki supaya kita bekerja dan berdaya upaya untuk memperoleh harta dengan jalan yang halal. Apabila kita telah memperoleh harta, maka hendaklah kita tunaikan hak Allah dan janganlah kita melupakan bagian kita sendiri di dunia ini. (Tafsir An-Nuur, IV: 3001).
Kita memanfaatkan umur kita untuk mengumpulkan bekal perjalanan panjang: akhirat. Meminjam kata-kata Dr. Mahmud bin Al-Syarif: "Seorang mukmin sejati akan bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bekerja demi kebahagiaan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Dia menanam amal kebaikan semasa hidupnya agar kelak pasca kematiannya dia dapat menuai hasil jerih payahnya. Dia hidup tenteram dan damai sebab tidak dihantui oleh rasa takut akan kematian, bahkan dia siap menantikan datangnya kematian kapan pun dan di mana pun."
Teladan sejati kita, Nabi Muhammad Saw. menghabiskan sepanjang hayatnya untuk kita, para pengikutnya. Beliau tidak mau menyibukkan diri dengan kasur empuk untuk tidur. Coba lihat, apa komentar beliau ketika ada sahabatnya yang menawarkan tikar yang lebih baik untuk tidur.
Dalam suatu riwayat disebutkan Rasulullah Saw. tidur di atas tikar, lalu bangun, dan sungguh lambungnya berbekas (dengan gambar tikar itu). Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana apabila kami buatkan tikar untukmu?" Rasul menjawab, "Untuk apa aku mempedulikan dunia. Aku di dunia hanyalah seperti pengendara unta yang sedang bernaung di bawah pohon kemudian berangkat meninggalkannya." (HR. At-Tirmidzi).
Nabi lebih menyibukkan dirinya mementingkan nasib umat manusia daripada tidur di kasur empuk. Bahkan, beliau sebenarnya tidak pernah tidur dalam pengertian kita, karena sibuk memikirkan keselamatan kita tidak saja di dunia ini tetapi juga di akhirat nanti. Untuk alasan inilah, ketika malaikat Jibril menawarkan kepadanya untuk menghancurkan orang-orang yang memusuhinya, beliau menolak tegas tawaran itu. Bagi beliau, sebesar apa pun permusuhan dan kebencian yang diperlihatkan oleh musuh-musuhnya tidak akan membangkitkan amarahnya. Malahan, beliau balas permusuhan itu dengan persahabatan. Kebencian dengan kasih sayang. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip hidup kita di dunia ini.
Semoga bermanfaat.[]

DIALOG
APAKAH HAKIKAT AMAL SHALIH?

Tanya:

Banyak di antara umat Islam yang secara lahiriah disebut orang shalih. Namun keshalihannya itu tidak memberi kontribusi positif bagi ling­kungannya. Banyak umat Islam yang mampu berhaji berkali-kali, namun ironisnya apabila masih banyak orang miskin di sekitarnya. Apakah hakikat amal shalih itu? (Abu Viena, Lhokseumawe)

Jawab:
Dalam ayat 177 Al-Baqarah disebutkan: “Bukanlah suatu kebaktian, hanya kamu menghadapkan muka ke arah kiblat baik dari arah Timur maupun Barat. Namun kebaktian itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan para Nabi. Dan memberikan harta yang dikasihinya kepada orang-orang yang mempunyai ikatan keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan peminta-minta dan untuk memerdekakan budak sahaya; dan dia mendirikan shalat, memberikan zakat dan orang-orang yang menepati janji apabila berjanji dan orang-orang yang sabar apabila dalam masa-masa kesukaran dan terjadi kemudaratan dan ketika perang. Mereka adalah orang-orang yang benar—imannya—dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa (memelihara diri dari kekafiran dan kekejian).”
Ayat ini memberikan pengertian bahwa apa-apa yang disebut dalam ayat ini merupakan syarat bagi sempurnanya kebaktian atau keshalihan dan dengan melaksanakan yang demikian orang disebut berbakti. Apabila salah satunya kurang, maka dia tidaklah dapat dipandang sebagai orang yang berbakti atau beramal shalih. (Hasbi, Tafsir Al-Bayan, Pustaka Rizki Putra, hlm. 68)
Islam tidak hanya menghendaki seseorang menjadi hamba yang shalih secara vertikal dalam hubungannya dengan Sang Khaliq, namun juga shalih secara horisontal. Atau shalih secara vertikal dan shalih secara sosial.
Rasulullah pernah bersabda bahwa menolong saudara sesama muslim yang membutuhkan lebih baik atau lebih utama daripada sekedar duduk beriktikaf di masjid. Sabda Nabi tersebut adalah: “Berjalan bersama saudaraku untuk suatu keperluan lebih aku senangi dari pada beriktikaf di masjid ini—masjid Madinah—selama satu bulan.” (HR. Ath-Thayalisi)
Alangkah lebih baik apabila ongkos haji “yang sudah tidak wajib lagi bagi orang yang pernah berhaji” itu digunakan untuk program pengentasan kemiskinan dengan memberikan sumbangan bersyarat yang bersifat produktif, seperti untuk modal usaha. Maksudnya sumbangan yang diterima harus benar-benar digunakan untuk modal usaha, dan si pemberi sumbangan berhak meminta laporan perkembangan usahanya, meski tidak berniat meminta kembali sumbangan modalnya. Jadi bukan sekedar sumbangan sembako yang habis sesaat. Ibaratnya, memberikan kail lebih baik daripada memberikan ikan. Dengan memberikan ikan, habis dimakan, selesai sudah. Dengan memberikan kail, orang yang diberi kail dapat senantiasa mengail ikan, sehingga dapat mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhannya.
Dengan demikian keshalihan umat Islam dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, sebagai keshalihan yang sebenarnya. [hilya_ar]

HIKMAH
“Berkerjalah—dengan giat—untuk urusan duniamu seakan-akan kamu hidup untuk selamanya, dan beramalah—dengan giat—untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari.” (Al-Hadits)

Sabtu, 26 Januari 2008

EDISI 1 - JANUARI 2008

KILAS BALIK SEJARAH & PERJUANGAN TGK. MUHAMMAD HASBI ASH-SHIDDIEQY

PADA tanggal 09 November 2007, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono telah menganugerahkan Bintang Maha Putra Utama kepada Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, yang selama hayatnya lebih lama berkarya di luar tanah kelahirannya. Catatan perjalanan hidup Almarhum di Aceh tidaklah berjalan mulus, banyak benar perlakuan yang diterimanya, yang mengindikasikan bahwa pemikirannya yang dikemukakan kepada masyarakat pada saat itu, telah melampaui daya nalar masyarakat.

Pengalaman hidup Almarhum di Aceh dimulai pada tahun 1925 dengan usahanya membuka Madrasah Al-Irsyad di kota Lhokseumawe, meniru model sekolah modern. Usahanya ini dituduh meniru model sekolah kafir, karena mencoba mengajar kepada murid-muridnya dengan duduk berbanjar di atas bangku dan menggunakan papan tulis tidak duduk melingkar di atas tikar. Alasan pengkafiran ini karena adalah satu pelanggaran, jika ada murid duduk di depan dan ada yang duduk di bangku belakang, sehingga saat giliran membaca Al-Qur’an bagi murid yang duduk di belakang ada yang membelakanginya. Sehingga Sekolah Al-Irsyad terpaksa ditutup karena tak ada murid yang mau mendaftar.

Kemudian Hasbi mencoba mendirikan Madrasah Al-Huda di Krueng Mane, yang terpaksa gulung tikar terkena Ordonansi Guru 1906 yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial Belanda.

Karena kegiatannya di Muhammadiyah, Hasbi dianggap orang yang tidak dikehendaki. Hasbi ditangkap pada Maret 1946 di Kantornya, Mahkamah Syariah di Kutaraja, dan masuk ke dalam target untuk dieksekusi bersama beberapa Uleebalang. Hasbi diangkut dengan kereta api dari Stasiun Kereta Api Kutaraja, menuju Sigli untuk kemudian dibawa ke Tangse. Sewaktu berada dalam gerbong kereta api Hasbi tak sanggup menoleh kearah keluarga, wajahnya sendu karena sudah tahu bakal nasib yang akan dialaminya.

Teungku Daud Tangse menolak melaksanakan eksekusi, karena Aceh akan kehilangan seorang ulama dan apabila Aceh tak lagi punya ulama yang pandai bagaimana nasib Aceh di kemudian hari. Hasbi dimasukkan ke dalam kamp tawanan di Lembah Burni Telong (Aceh Tengah). Jika di Rusia ada kamp di Siberia untuk menempatkan para lawan politik, maka Kamp Burni Telong adalah padanannya.

Kamp ini yang merupakan barak bagi para penderes getah, adalah bangunan tua, tak ada fasilitas apapun. Para tawanan tidur beralaskan tikar di atas papan, makanan berupa ransum dengan lauk ikan asin, dan jika ada pembagian telur asin, maka jatahnya adalah dalam seminggu sekali.

Pernah kami sekeluarga diizinkan menjenguk, dan apa yang terlihat sungguh sangat menyedihkan. Sampai kemudian Hasbi dimasukkan ke rumah sakit di Takengon, karena terserang penyakit paru-paru (1947). Sampai dibebaskan pada tahun 1948, tak ada proses peradilan dilaluinya. Hasbi tak pernah diinterogasi, tak pernah dibawa ke muka Pengadilan untuk diadili dan bebas karena ada desakan dari Pimpinan Muhammadiyah di Yogyakarta dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Selama menjalani masa tahanan di Burni Telong, dengan bermodalkan kitab Suci Al-Qur’an, Hasbi menyiapkan naskah Pedoman Shalat dan Pedoman Dzikir dan Do’a.

Dalam tahun 1951, sebelum berangkat ke Yogyakarta, Hasbi ditunjuk Pemerintah Pusat untuk menjadi salah seorang dari lima orang anggota Missi Haji Pertama ke tanah suci Mekkah, untuk merintis kerjasama dalam pelaksanaan ibadah haji. Missi ini diketuai oleh K.H.R. Adnan Ketua Mahkamah Syariah Islam Tinggi di Surakarta. Penunjukan yang sudah sempat diberitahukan kepada anggota keluarga, pada saat-saat akhir menjelang keberangkatan, namanya dicoret oleh Pemerintah Aceh dan digantikan oleh orang yang dekat dengan Penguasa saat itu.

Hasbi dan keluarga mendapat berkah sewaktu mendapat undangan dari Panitia Kongres Muslimin Indonesia (KMI) ke XV di Yogyakarta yang diselenggarakan pada tahun 1949. Di Yogyakarta dia diperkenalkan oleh H. Abu Bakar Aceh kepada Menteri Agama saat itu K. H Wahid Hasyim. Serta kepada K.H. Fathurrakhman Kafrawi yang menjadi Ketua Panitia Pendirian Sekolah Persiapan PTAIN.

Karena tawaran yang menantang ini serta perlakuan-perlakuan yang diterima di Aceh, dengan senang hati Hasbi pindah ke Yogyakarta. Hasbi diangkat menjadi dosen, padahal dia sama sekali tidak punya gelar ilmiah dari sebuah Perguruan Tinggi atau tamatan Perguruan Tinggi di Timur Tengah.

Di Yogya-lah Hasbi bisa mengembangkan diri. Dia menulis buku-buku yang sekarang menjadi buku unggulan. Tafsir An Nuur, Tafsir Al-Bayan, Koleksi Hadits-Hadits Hukum serta Mutiara Hadits disiapkan di Yogya di waktu luang sehabis mengajar. Dengan gaji yang kecil, Hasbi terpaksa mengajar di beberapa sekolah di samping di PTAIN (yang kemudian pada tahun 1960 berubah menjadi Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga).

Atas undangan Gubernur Aceh saat itu Prof. Ali Hasymi, pada tahun 1962, Hasbi diminta untuk membuka Fakultas Syariah di Darussalam Banda Aceh, yang merupakan embrio Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry. Hasbi hanya bisa bertahan 1 tahun tinggal di Darussalam, walaupun diberi rumah, mobil, dan tanah seluas 600 m2 di daerah Lingke (sekarang sudah dijadikan Asrama Haji karena Hasbi tak sempat mengurus balik nama tanah tersebut ke kantor Agraria). Hasbi kemudian kembali ke Yogyakarta. Salah satu sebabnya adalah pemikiran pembaruan yang dikemukakannya yang dianggap terlalu maju masih tidak bisa diterima oleh sebagian masyarakat yang berada di sekitar masjid Lamnyong, Darussalam, Banda Aceh. Dalam sebuah diskusi Hasbi mengatakan bahwa agama Islam harus dipelajari berdasarkan Science (Ilmu Pengetahuan). Oleh sebagian “teungku” yang tak terbiasa mendengar kata “science” dikatakan bahwa Hasbi ingin membangun Islam meniru model “sayyid” (para tuan-tuan atau orang Barat).

Almarhum mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dalam buku Biografi-nya, “Namaku Ibrahim Hasan”, mengatakan bahwa, jika dia tak disukai di Aceh adalah hal yang kecil, sebab Hasbi seorang ulama besar juga kurang disukai di tanah kelahirannya sendiri dan terpaksa hijrah keluar Aceh.

Dalam Simposium 100 Tahun Hasbi yang diselenggarakan oleh IAIN Ar-Raniry dan Dinas Kebudayaan Provinsi NAD, September 2003, yang dibahas oleh para Teungku bukan substansi pemikiran berdasarkan makalah yang dipresentasikan oleh beberapa Guru besar baik dari IAIN Bandung, Yogyakarta ataupun Medan, namun lebih terfokus mengenai kepindahan Hasbi ke Jawa, apa benar dia ada garis keturunan dengan Abu Bakar Ash-Shiddieq sehingga menambah gelar “Ash-Shiddieqy” di belakang namanya. Terlepas apakah dia pakai gelar Ash-Shiddieqy di belakang namanya, namun satu hal sebetulnya yang penting dibahas apa kontribusi Hasbi dalam pengembangan Ilmu Fiqh, peranan dalam memajukan pendidikan.

Kepakaran Hasbi cukup diakui oleh dunia Internasional. Bangsa ini boleh bangga, bahwa seorang tamatan dayah (pesantren), dan belum berpredikat Profesor (1957, dia diangkat sebagai Guru Besar IAIN pada tahun 1960). Universitas Punjab, Lahore, mengundang Hasbi untuk mempresentasikan makalah dengan judul: “The Attitude of Islam toward Knowledge”. Hasbi yang tak menguasai bahasa Inggris, namun makalah yang dibawanya dalam Bahasa Arab cukup fasih dan mendapat pujian dari pakar-pakar Islam yang hadir dalam Colloquium tersebut.

Pada bulan Desember 1975, Hasbi beserta istri mendapat undangan Pemerintah untuk dapat menunaikan ibadah haji. Namun undangan tersebut tak sempat dipenuhi, karena beberapa hari menjelang keberangkatan pada tanggal 9 Desember 1975 Hasbi berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Islam Jakarta.

Ada beberapa sikap Hasbi yang tercermin dalam perilaku keilmuannya:

a. Perjuangan memperkenalkan kebenaran kepada masyarakat harus dilakukan dengan sepenuh hati dan kegigihan yang luar biasa dan tidak takut terhadap segala rintangan karena niatnya semata-mata karena Allah swt.

b. Membuka diri terhadap perubahan serta mencari ilmu dan informasi dari berbagai sumber adalah satu keharusan untuk mendapatkan hakikat kebenaran.

c. Kita harus mendengar, menghargai, menggali secara mendalam pendapat para ulama terlebih dahulu sebelum mengungkapkan pendapat kita.

d. Kemauan menuntut ilmu dan kegigihan mendalami ilmu agama tidak terbatas pada bangku sekolah dan pendidikan formal.

Hasbi mengalami nasib yang sungguh berbeda setelah hijrah dari Aceh. Dari seorang yang tak berijazah S1, dan seorang yang berlajar huruf Latin secara sembunyi-sembunyi, nama Hasbi kini dikenal luas sampai ke mancanegara.

Menteri Agama R.I, H. Muhammad Maftuh Basuni, sangat menghargai apa yang dikerjakan Hasbi dan kontribusinya kepada dunia ilmu pengetahuan, sehingga lewat Departemen Agama R.I, Hasbi diusulkan untuk mendapat Gelar Bintang Maha Putra Utama, dan usul ini kemudian berwujud.

Ada beberapa thesis Doktor yang ditulis mengenai Hasbi, baik di Mc Gill University di Montreal, Canada, Universitas Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur, Universitas Al-Azhar, Cairo.

Kesan yang muncul sekarang, adalah penilaian terhadap Hasbi semata-mata karena sikap tidak senang dan tidak mau tahu. Tanpa mempelajari buku Hasbi, hanya berdasarkan “kata orang” muncul berbagai penilaian terhadap Hasbi, yang kadangkala mendekati fitnah, seperti Hasbi tidak pernah shalat Jum’at di masjid, dan selama 15 tahun di Yogyakarta, dia menganggap dirinya seorang musafir yang boleh mengqasharkan shalat lima waktu. Kedua hal yang terakhir sama sekali tidak benar.

Ada cerita lucu, bahwa pada suatu ketika ada orang menyodorkan sebuah buku tanpa kulit muka. Setelah buku itu dibaca, sambil mengangguk-angguk dia memuji tulisan pengarangnya dia memuji pendapat yang tertera dalam buku itu. Namun dia agak malu, ketika kulit buku dipasangkan kembali dan ternyata buku tersebut adalah karya Hasbi.

Penulisan mengenai perjalanan hidup Hasbi ini dimaksukan agar kita di Aceh bisa terbuka mata, bisa menghargai orang yang mengabdikan dirinya kepada dunia pengetahuan tanpa pamrih.

Apabila kita rajin membaca buku Hasbi, bisa dibaca bahwa dia tak pernah menyerang pribadi orang yang tidak sependapat, tidak pernah mengeluarkan kata-kata hujatan bahwa pendapat lawannya itu sesat menyesatkan. Kata-kata “sesat menyesatkan” sering dialamatkan kepadanya. Dan reaksi beliau adalah mengemukakan dalil baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah, mengapa dia berpendapat demikian.

Kalau kita ingin maju, baca buku yang banyak perbandingkan isinya, pilih mana yang benar menurut pendapat kita. Kalau kita tak mau membaca, menggantungkan pendapat kepada apa yang “kata orang”, kita akan dilanda badai reformasi pemikiran baru dan kita akan “ketinggalan kereta”. Jangan karena ingin meniru Nabi kita enggan berwudhu lewat keran air, dan tetap berwudhu dari air kolam.

Wabillahit taufiq wal hidayah.

H.Z. Fuad Hasbi *)

*) Penulis adalah putra Alamrhum dan kini menjabat Direktur Pusat Studi Islam dan Perpustakaan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy di Lhokseumawe.

DIALOG
BOLEHKAH LELAKI MUSLIM MEMAKAI PERHIASAN YANG TERBUAT DARI EMAS?

Tanya:

Dalam tayangan media beberapa waktu yang lalu, pernah dibahas masalah perhiasan emas bagi kaum laki-laki. Bolehkah laki-laki memakai perhiasan emas? (Sauqy bin Halim, Lhokseumawe)

Jawab:

Banyak hadits yang menunjukkan ke­haraman laki-laki memakai perhiasan emas, di antaranya riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Emas dan sutra dihalalkan bagi umatku yang perempuan dan diharamkan bagi umatku lelaki.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)

Menurut Hasbi, meskipun banyak hadits yang menyatakan demikian dari berbagai jalan (jalur periwayatan), namun semuanya itu tidak lepas dari kecacatan. Dengan merujuk keterangan sejarah yang lebih shahih, Hasbi menjelaskan bahwa sejumlah shabat, seperti Sa’ad ibn Abi Waqqash, Thahlah ibn Ubaidillah, Shuhaib, Huzaifah, dll., memakai cincin emas, karena me­mahami lararangan yang dikehendaki Nabi Saw. hanyalah larangan makruh.

Kesimpulan makruh ini, lebih lanjut dijelaskan oleh Hasbi:

Apabila kita perhatikan umum ayat-ayat Al-Qur’an, maka jelaslah menegaskan bahwa memakai emas dan perak halal hukumnya [baca QS. Al-A’raf: 31-33]. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa segala macam hiasan adalah halal. Di antara hiasan itu adalah emas dan perak.

Menurut kaidah ushul fiqh, tiap-tiap dalil yang bersifat umum tetaplah dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mentakhshishkan atau mengkhususkan­nya. Dalil yang dapat mentakhshishkan ayat Al-Qur’an harus sama derajatnya. Hadits-hadits yang mentakhshishkan keumuman ayat ini, yakni hadits yang melarang kita memakai emas, semuanya hadits ahad (hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang), bukan mutawatir. Karena itu tidak dapat dipakai untuk mengecualikan emas dari keumuman ayat yang memperbolehkan kita memakai perhiasan (ziinah).

Wallahu a’lam.

Keterangan selengkapnya dapat Anda baca dalam Koleksi Hadits-hadits Hukum, karya Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 256. [h_ar]

HIKMAH

“Semua perkataan anak Adam tidak berguna baginya, kecuali untuk mengajak melakukan yang ma’ruf dan melarang perbuatan mungkar serta berdzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)